Latar Belakang
"Ketika kabilah Hawazin mendengar informasi tentang Rasulullah
dan penaklukan Makkah yang dianugerahkan Allah kepada beliau, Malik bin Auf
An-Nashri menyatukan mereka. Selain kabilah Hawazin yang bergabung kepada Malik
bin Auf An-Nashri, seluruh penduduk kabilah Tsaqif juga bergabung kepadanya.
Juga seluruh penduduk kabilah Nashr, kabilah Jusyam, Sa'ad bin Bakr, dan
beberapa orang dari Bani Hilal kendati dalam jumlah yang sedikit. Dari Qais
Ailan tidak ada yang menghadiri Perang Hunain kecuali orang-orang tersebut.
Orang-orang kabilah Hawazin yang tidak menghadiri Perang Hunain ialah Ka'ab dan
Kilab serta orang terkenal dari mereka. Di Bani Jusyam terdapat Duraid bin
Ash-Shimmah. Ia orang sepuh, ide-idenya cemerlang, ahli perang, dan orang
berpengalaman. Di kabilah Tsaqif terdapat dua tokoh mereka dari persekutuan,
salah satunya ialah Qarib bin Al-Aswad bin Muattib. Di Bani Malik terdapat Dzu
Al-Khimar yang tidak lain adalah Subay'i bin Al-Harits bin Malik dan saudaranya
bernama Ahmar bin Al-Harits. Komando umum berada di tangan Malik bin Auf
An-Nashri".
"Ketika Malik bin Auf An-Nashri telah bertekad bulat untuk berang-kat menyerang Rasulullah, ia berangkat bersama orang-orang lengkap dengan harta, istri, dan anak-anak mereka. Ketika ia tiba di lembah Authas (Sebuah lembah di wilayah Hawaaazin), orang-orang berkumpul di tempat Malik bin Auf An-Nashri, termasuk Duraid bin Ash-Shimmah yang ketika itu berada di dalam sekedup tak beratap. Ketika Duraid bin Ash-Shimmah turun dari sekedupnya, ia berkata, 'Kalian berhenti di lembah apa?' Orang-orang men-jawab, 'Di Lembah Authas'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Ini sebaik-baik tempat kuda. Tempatnya tidak berbukit dan berbatu dan tidak pula datar dan licin. Tapi, kenapa aku mendengar suara geram unta, suara ringkik keledai, tangis anak kecil, dan suara kambing?' Orang-orang menjawab, 'Malik bin Auf An-Nashri berangkat bersama orang-orang plus harta, istri-istri, dan anak-anak mereka'. Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Mana Malik?' Malik bin Auf An-Nashri pun dipanggil.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Hai Malik, sekarang engkau menjadi pemim-pin kaummu dan sesungguhnya hari itu (perang) akan terjadi dan setelah itu tidak ada lagi hari-hari lainnya. Tapi, kenapa aku mendengar suara geram unta, suara ringkik keledai, tangis anak kecil, dan suara kambing?' Malik bin Auf An-Nashri menjawab, 'Aku membawa orang-orang beri-kut harta, istri-istri, dan anak-anak mereka'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Kenapa begitu?' Malik bin Auf An-Nashri menjawab, 'Aku ingin menempatkan istri dan harta di belakang setiap orang dari mereka agar ia berperang membela mereka'. Duraid bin Ash-Shimmah menghar-dik keras Malik bin Auf An-Nashri, kemudian Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Demi Allah, itu seperti pengembala kambing. Adakah sesuatu yang bisa menahan mundurnya orang yang lari dari medan perang? Jika engkau mau, sesungguhnya apabila kamu menang perang tiada yang ber-manfaat bagimu kecuali seseorang dengan pedang dan tombaknya. Jika kamu kalah, engkau akan dicaci-maki di hadapan keluarga dan hartamu'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata lagi, 'Apa yang dikerjakan kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab?' Orang-orang menjawab, 'Tidak ada satu pun dari mereka yang ikut serta'. Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Kekuatan dan keberanian telah hilang. Jika yang terjadi ialah kemenangan dan kejayaan, pasti tidak ada yang absen dari kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab. Sungguh aku ingin kalian berbuat seperti kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab. Siapa saja yang ikut serta di antara kalian?' Orang-orang menjawab, 'Amr bin Amir dan Auf bin Amir'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Dua orang lemah tersebut tidak bisa memberi manfaat dan mudharat. Hai Malik, engkau sedikit pun tidak mendekatkan rombongan Hawazin ke leher kuda. Tempatkan keluarga dan harta di tempat yang sulit dijangkau dan mudah dipertahankan, kemudian hadapi orang-orang yang keluar dari agama nenek moyang tersebut (kaum muslimin) dari atas punggung kuda. Jika kemenangan menjadi milikmu, maka orang-orang yang ada di belakangmu pasti menyusulmu. Jika engkau kalah, aku menemuimu di tempat tersebut dan sungguh engkau telah melindungi k-luarga dan hartamu'. Malik bin Auf An-Nashri berkata, 'Itu tidak akan aku kerjakan, hai Duraid bin Ash-Shimmah, engkau orang pikun dan akalmu juga telah lemah. Demi Allah, kalian harus taat kepadaku hai orang-orang kabilah Hawazin. Kalau tidak, aku akan bersandar di atas pedang ini hingga pedang ini keluar dari punggungku'. Malik bin Auf An-Nashri tidak ingin Duraid bin Ash-Shimmah mempunyai andil atau pendapat dalam masalah ini. Orang-orang kabilah Hawazin pun berkata, 'Kami taat kepadamu'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Aduh, aku hadir di peristiwa ini, namun aku tidak punya hak berpendapat di dalam-nya:
"Duhai seandainya di perang ini aku seorang pemuda
Maka menyelinap dan berjalan di dalamnya
Aku tuntun kuda yang berambut panjang dan rambutnya menjulur di kakinya
Seperti kambing muda."
"Setelah itu, Malik bin Auf An-Nashri berkata kepada anak buahnya, 'Jika kalian melihat mereka (kaum muslimin), patahkan sarung pedang kalian, kemudian bersatulah ibarat satu orang'."
"Ketika Malik bin Auf An-Nashri telah bertekad bulat untuk berang-kat menyerang Rasulullah, ia berangkat bersama orang-orang lengkap dengan harta, istri, dan anak-anak mereka. Ketika ia tiba di lembah Authas (Sebuah lembah di wilayah Hawaaazin), orang-orang berkumpul di tempat Malik bin Auf An-Nashri, termasuk Duraid bin Ash-Shimmah yang ketika itu berada di dalam sekedup tak beratap. Ketika Duraid bin Ash-Shimmah turun dari sekedupnya, ia berkata, 'Kalian berhenti di lembah apa?' Orang-orang men-jawab, 'Di Lembah Authas'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Ini sebaik-baik tempat kuda. Tempatnya tidak berbukit dan berbatu dan tidak pula datar dan licin. Tapi, kenapa aku mendengar suara geram unta, suara ringkik keledai, tangis anak kecil, dan suara kambing?' Orang-orang menjawab, 'Malik bin Auf An-Nashri berangkat bersama orang-orang plus harta, istri-istri, dan anak-anak mereka'. Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Mana Malik?' Malik bin Auf An-Nashri pun dipanggil.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Hai Malik, sekarang engkau menjadi pemim-pin kaummu dan sesungguhnya hari itu (perang) akan terjadi dan setelah itu tidak ada lagi hari-hari lainnya. Tapi, kenapa aku mendengar suara geram unta, suara ringkik keledai, tangis anak kecil, dan suara kambing?' Malik bin Auf An-Nashri menjawab, 'Aku membawa orang-orang beri-kut harta, istri-istri, dan anak-anak mereka'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Kenapa begitu?' Malik bin Auf An-Nashri menjawab, 'Aku ingin menempatkan istri dan harta di belakang setiap orang dari mereka agar ia berperang membela mereka'. Duraid bin Ash-Shimmah menghar-dik keras Malik bin Auf An-Nashri, kemudian Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Demi Allah, itu seperti pengembala kambing. Adakah sesuatu yang bisa menahan mundurnya orang yang lari dari medan perang? Jika engkau mau, sesungguhnya apabila kamu menang perang tiada yang ber-manfaat bagimu kecuali seseorang dengan pedang dan tombaknya. Jika kamu kalah, engkau akan dicaci-maki di hadapan keluarga dan hartamu'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata lagi, 'Apa yang dikerjakan kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab?' Orang-orang menjawab, 'Tidak ada satu pun dari mereka yang ikut serta'. Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Kekuatan dan keberanian telah hilang. Jika yang terjadi ialah kemenangan dan kejayaan, pasti tidak ada yang absen dari kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab. Sungguh aku ingin kalian berbuat seperti kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab. Siapa saja yang ikut serta di antara kalian?' Orang-orang menjawab, 'Amr bin Amir dan Auf bin Amir'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Dua orang lemah tersebut tidak bisa memberi manfaat dan mudharat. Hai Malik, engkau sedikit pun tidak mendekatkan rombongan Hawazin ke leher kuda. Tempatkan keluarga dan harta di tempat yang sulit dijangkau dan mudah dipertahankan, kemudian hadapi orang-orang yang keluar dari agama nenek moyang tersebut (kaum muslimin) dari atas punggung kuda. Jika kemenangan menjadi milikmu, maka orang-orang yang ada di belakangmu pasti menyusulmu. Jika engkau kalah, aku menemuimu di tempat tersebut dan sungguh engkau telah melindungi k-luarga dan hartamu'. Malik bin Auf An-Nashri berkata, 'Itu tidak akan aku kerjakan, hai Duraid bin Ash-Shimmah, engkau orang pikun dan akalmu juga telah lemah. Demi Allah, kalian harus taat kepadaku hai orang-orang kabilah Hawazin. Kalau tidak, aku akan bersandar di atas pedang ini hingga pedang ini keluar dari punggungku'. Malik bin Auf An-Nashri tidak ingin Duraid bin Ash-Shimmah mempunyai andil atau pendapat dalam masalah ini. Orang-orang kabilah Hawazin pun berkata, 'Kami taat kepadamu'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Aduh, aku hadir di peristiwa ini, namun aku tidak punya hak berpendapat di dalam-nya:
"Duhai seandainya di perang ini aku seorang pemuda
Maka menyelinap dan berjalan di dalamnya
Aku tuntun kuda yang berambut panjang dan rambutnya menjulur di kakinya
Seperti kambing muda."
"Setelah itu, Malik bin Auf An-Nashri berkata kepada anak buahnya, 'Jika kalian melihat mereka (kaum muslimin), patahkan sarung pedang kalian, kemudian bersatulah ibarat satu orang'."
Rasulullah saw. Meninggalkan Mekah Menuju
Hunain
"Ketika Rasulullah mendengar informasi tentang Malik bin Auf An-Nashri dan anak
buahnya, beliau mengirim Abdullah bin Abu Hadrad Al-Aslami dan memerintahkannya
menyelinap ke tempat mereka dan berada di tempat mereka untuk mengetahui
seluk-beluk mereka, kemudian datang kembali kepada beliau dengan membawa
informasi tentang mereka. Abdullah bin Abu Hadrad berangkat, menyelinap ke
tempat mereka, dan berada di tempat mereka hingga mendengar dan mengetahui bahwa
orang-orang kabilah Hawazin telah sepakat dengan Malik bin Auf An-Nashri untuk
memerangi beliau. Ia juga mendengar ucapan Malik bin Auf An-Nashri dan kondisi
terakhir orang-orang kabilah Hawazin. Sete-lah mendapatkan informasi itu semua,
Abdullah bin Abu Hadrad pulang menemui Rasulullah, dan melaporkan kepada beliau
informasi yang ia terima. Pada hari Sabtu, 6 Syawal 8 H, Rasulullah saw.
meninggalkan kota Mekah, membawa 12.000 balatentara kaum muslimin. Sepuluh ribu
di antaranya terdiri atas mereka yang sejak semula dibawa beliau berangkat dari
Madinah untuk membebaskan kota Mekah, sedangkan yang dua ribu berasal dari
penduduk Mekah, yang kebanyakan baru masuk Islam.
Di waktu itu, Rasulullah saw. meminjam seratus stel
baju perang berikut peralatannya kepada Shafwan bin Umaiyah -ketika
itu masih musyrik- dan bersabda, 'Hai Abu Umaiyah, pinjami kami senjatamu untuk
menghadapi musuh kami besok pagi'. Shafwan bin Umaiyah berkata, 'Apakah ini
perampasan, hai Muhammad?' Rasulullah bersabda, 'Tidak, namun pinjaman yang
diberi jaminan dan akan aku kembalikan kepadamu'. Shafwan bin Umaiyah berkata,
'Kalau begitu, tidak apa-apa'. Shafwan bin Umaiyah pun memberikan seratus baju
besi pelindung diri dari senjata miliknya kepada Rasulullah. Ada yang mengatakan
bahwa Rasulullah meminta Shafwan bin Umaiyah membantu kaum muslimin dengan
membawa baju besi tersebut dan ia pun menyetujuinya". . Untuk menjaga
kota Mekah, beliau mengangkat Attab bin Asid menjadi
gubenurnya.
Memang bisa dimengerti, terhimpunnya manusia yang
demikian banyaknya itu benar-benar berpengaruh juga terhadap urat saraf kaum
muslimin, yang membuat mereka terpedaya, sehingga seseorang berkata, "Hari ini,
kita takkan kalah karena sedikit".
"Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai
orang-orang mu'minin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan
Hunain, yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah
yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas
itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dan bercerai-berai".
(QS. 9:25)
Di waktu itu, ada pula sebagian balatentara kaum
muslimin yang setelah melihat betapa banyaknya jumlah mereka, mereka mengatakan,
"Hari ini, kita takkan terklahkan". Rasulullah saw. sangat sedih mendengar semua
perkataan itu.
Kisah Dzatu Anwath
Al-Harits bin Malik berkata, "Kami berangkat bersama Rasulullah
ke Hunain -ketika itu kami baru saja masuk Islam-. Ya, kami berangkat bersama
beliau ke Hunain. Orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang Arab di sekitar
mereka mempunyai pohon besar berwarna hijau bernama Dzatu Anwath. Mereka datang
ke pohon tersebut dalam setiap tahun kemudian menggantungkan senjata di atasnya,
menyembelih hewan kurban di sekitarnya, dan menetap seharian di dalamnya. Ketika
kami sedang berjalan bersama Rasulullah, tiba-tiba kami melihat pohon ber-warna
hijau dan besar. Kami saling berseru dari samping jalan, 'Wahai Rasulullah,
buatkan untuk kami pohon Dzatu Anwath seperti mereka'. Rasulullah bersabda,
'Allahu Akbar, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, sungguh
kalian telah berkata seperti yang pernah diucapkan kaum Nabi Musa kepada Nabi
Musa, 'Buatkan untuk kami Tuhan sebagaimana mereka mempunyai Tuhan-Tuhan'. Nabi
Musa men-jawab, 'Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh'. Sesungguhnya pohon
Dzatu Anwath adalah salah satu tradisi dan sungguh kalian akan mengerjakan
tradisi-tradisi orang-orang sebelum kalian'."
serangan Mendadak Balatentara Islam Disambut Hujan Anak Panah dari Pihak
Musuh
Balatentara kaum muslimin sampai di Hunain pada malam
Selasa, 10 Syawal. Agaknya, Malik bin Auf, pemimpin kaum Tsaqif itu, telah
mendahului kaum muslimin ke tempat itu. Dia telah membawa balatentaranya masuk
ke lembah itu pada malam sebelumnya, lalu dia sebarkan anak buahnya untuk
mengintai di sepanjang jalan di berbagai kelokan, celah-celah bukit,
tempat-tempat tersembunyi, dan jalan-jalan yang sempit. Dia perintahkan pula
para pengintai itu supaya menyerang kaum muslimin secara serentak begitu barisan
mereka yang pertama muncul, dan mendesaknya secara serempak. Sewaktu kaum
muslimin tengah menuruni lembah, tiba-tiba mereka dihujani anak panah yang
sedemikian gencarnya. Sejurus kemudian, pasukan-pasukan musuh telah mengepung
mereka secara serempak. Akhirnya, kaum muslimin pun berbalik mundur. Mereka lari
berhamburan, tidak peduli satu sama lain.
Jabir
bin Abdullah, berkata, "Ketika kami berjalan ke arah Hunain, kami turun di salah
satu lembah Tihamah yang luas dan kami seharusnya turun dengan pelan-pelan,
namun kami turun dengan buru-buru. Itu terjadi di tengah malam yang gelap
gulita, di sisi lain, orang-orang kabilah Hawazin mendahului kami tiba di lembah
tersebut, kemudian mereka bersembunyi dari penglihatan kami di salah satu jalan
di sana dan di tempat rahasia. Sungguh mereka bertekad bulat dan siap. Demi
Allah, tidak ada yang menakutkan kami ketika kami turun melainkan
batalion-batalion mereka yang menyerang kami dengan kompak ibarat serangan satu
orang. Kami lari kocar-kacir tak seorang pun yang menoleh kepada orang lain.
Melihat situasi seperti itu, Rasulullah saw. menepi ke sebelah kanan
seraya berseru, Kemarilah, hai manusia. Akulah Rasulullah. Aku Muhammad bin
Abdullah".
Akan tetapi, panggilan Rasulullah saw. itu tidak mereka pedulikan.
Semuanya lari, tinggal beberapa orang saja yang tetap bertahan di dekat
Rasulullah. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin dan Ahli bait beliau. Di saat itu, tampaklah keberanian Rasulullah saw. yang tiada
tara bandingannya. Saat itu, beliau memacu baghal yang dikendarainya
kencang-kencang ke arah musuh seraya berseru, "Akulah Nabi, tidak kadzib. Aku putra Abdul
Muthalib!" Selanjutnya, Rasulullah saw. pun turun, lalu memohon pertolongan
kepada Rabbnya seraya berdoa, "Ya Allah, turunkanlah
pertolongan-Mu".
Kaum Muslimin Berhimpun Kembali & Menghalau
Musuh
Selanjutnya, Rasulullah saw. menyuruh pamannya, Abbas
ra., berseru memanggil para sahabat beliau. Abbas adalah seorang yang memiliki
suara lantang.
Al-Abbas bin Abdul
Muththalib, berkata, "Aku bersama Rasulullah memegang tali kekang Baghlah
(keledai) beliau yang berwarna putih. Aku letakkan tali kekang baghlah tersebut
di antara dagunya. Aku berbadan besar dan bersuara keras. Rasulullah bersabda
ketika melihat orang-orang lari dari medan perang, 'Mana orang-orang?' Aku lihat
orang-orang tidak menoleh kepada sesuatu apa pun. Untuk itu, Rasulullah
bersabda, 'Hai Abbas, berteriaklah, 'Hai sekalian orang-orang Anshar, hai
seluruh orang-orang pemilik Samurah (majlis orang-orang mengobrol).
'Mereka menjawab, 'Ya, kami sambut panggilanmu'. Seseorang pergi untuk
membelokkan untanya, namun tidak mampu. Kemudian ia mengambil baju besinya dan
melemparkannya ke unta miliknya. Ia mengambil pedang, tameng, dan berjalan tanpa
mengendarai untanya menuju suaraku hingga ia tiba di tempat Rasulullah.
Ketika seratus orang telah berkumpul di tempat Rasulullah, maka ke seratus orang tersebut maju menghadapi musuh dan bertempur melawan mereka. Panggilan pertama yang dikumandangkan ialah, 'Hai orang-orang Anshar, 'Kemudian diringkas lagi menjadi, 'Hai orang-orang Al-Khazraj'. Orang-orang Al-Khazraj (Anshar) adalah orang-orang sabar dalam peperangan. Rasulullah melihat medan perang di atas hewan kendaraannya ketika kedua belah pihak saling bertempur, kemudian bersab-da, 'Sekarang perang telah berkecamuk'."
Ketika seratus orang telah berkumpul di tempat Rasulullah, maka ke seratus orang tersebut maju menghadapi musuh dan bertempur melawan mereka. Panggilan pertama yang dikumandangkan ialah, 'Hai orang-orang Anshar, 'Kemudian diringkas lagi menjadi, 'Hai orang-orang Al-Khazraj'. Orang-orang Al-Khazraj (Anshar) adalah orang-orang sabar dalam peperangan. Rasulullah melihat medan perang di atas hewan kendaraannya ketika kedua belah pihak saling bertempur, kemudian bersab-da, 'Sekarang perang telah berkecamuk'."
Jabir bin Abdullah, berkata, "Ketika seorang dari kabilah Hawazin pemegang bendera perang sedang di atas untanya berbuat sesuatu, tiba-tiba Ali bin Abu Thalib RA dan seseorang dari Anshar bergerak kepadanya. Ali bin Abu Thalib datang ke tempat pemegang bendera perang kabilah Hawazin tersebut dari belakang kemudian menyabet dua urat tumit untanya dan ia pun jatuh tersungkur ketika itu juga dari untanya. Pada saat yang sama, sahabat dari kaum Anshar melompat ke pemegang bendera kabilah Hawazin tersebut kemudian memukulnya hingga setengah betisnya ke bawah terputus. Pemegang bendera kabilah Hawazin tersebut pun tumbang tidak berdaya. Kedua belah pihak tetap bertempur. Demi Allah, orang-orang tidak mundur dari kekalahan mereka, melain-kan mereka melihat para tawanan dalam keadaan terikat berada di samping Rasulullah.
Rasulullah menoleh ke arah Abu Sofyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib -ia termasuk orang yang bersabar bersama beliau di perang tersebut, ke-Islamannya baik ketika masuk Islam, dan memegang tali belakang pelana baghlah beliau-, 'Siapa orang ini?'. Abu Sofyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib menjawab, 'Aku anak pamanmu, wahai Rasulullah'."
Abdullah bin Abu Bakr berkata: "Bahwa Rasulullah menoleh, kemudian melihat Ummu Sulaim binti Milhan yang ketika itu ikut perang bersama suaminya, Abu Thalhah. Ummu Sulaim mengikat pinggangnya dengan kain burdahnya, kerena sedang mengandung Abdullah bin Abu Thalhah, dan menaiki unta milik Abu Thalhah. Ia khawatir terlempar dari untanya, untuk itu, ia mendekatkan kepala unta kepadanya dan memasukkan tangannya ke gelang di sisi hidung unta. Rasulullah bersabda kepada Ummu Sulaim, 'Hai Ummu Sulaim'. Ummu Sulaim berkata, 'Ayah-ibu-ku menjadi tebusanmu wahai Rasulullah. Aku akan bunuh mereka yang melarikan diri darimu sebagaimana engkau membunuh orang-orang yang memerangimu, karena mereka layak mendapatkannya'. Rasulullah bersabda, 'Cukuplah Allah yang akan menghukum mereka wahai Ummu Sulaim?'
Ketika itu, Ummu Sulaim membawa pisau. Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim, 'Kenapa engkau membawa pisau seperti ini, hai Ummu Sulaim?' Ummu Sulaim menjawab, 'Pisau ini sengaja aku bawa. Jika salah seorang dari kaum musyrikin mendekat kepadaku, aku akan menikamnya dengan pisau ini'. Abu Thalhah berkata, 'Wahai Rasulullah, tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan Ummu Sulaim Ar-Rumaisha'?'."
Abu Qatadah berkata, "Di Perang Hunain, aku melihat dua orang; muslim dan kafir, sedang bertempur. Tiba-tiba salah seorang dari kaum musyrikin ingin membantu temannya yang musyrik tersebut dalam menghadapi lawannya yang muslim. Aku datangi orang tersebut kemudian aku tebas tangannya hingga terputus. Ia merangkulku dengan tangan kirinya. Demi Allah, ia tidak membiarkanku hingga aku mencium aroma darah (menurut Ibnu Hisyam, aroma kematian) dan ia nyaris membunuhku. Jika ia tidak kehabisan darah, ia pasti membunuhku. Ia jatuh, kemudian aku menyerangnya lagi dan menewaskannya. Perang membuatku menjauh dari orang tersebut, tiba-tiba seseorang dari warga Makkah melewati orang tersebut kemudian mengambil salab (barang) pada orang tersebut. Ketika perang usai dan kami berhasil mengatasi musuh, Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa membunuh salah seorang korban, ia berhak atas harta yang ditinggalkan korban tersebut'. Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, demi Allah, aku membunuh salah seorang musuh yang meninggalkan harta, kemudian perang membuatku menjauh darinya, jadi, aku tidak tahu siapa yang mengambil harta itu. Seseorang dari warga Makkah berkata, 'Ia (Abu Qatadah) berkata benar, wahai Rasulullah. Harta orang yang ia bunuh ada padaku. Mintalah ia (Abu Qatadah) merelakan Salab tersebut untuk aku miliki'. Abu Bakar Ash-Shiddiq RA berkata kepada orang Makkah tersebut, 'Tidak, Allah tidak meridhai hal ini. Engkau sengaja mendekat kepada salah seorang singa Allah yang berperang karena Allah dengan tujuan bisa berbagi Ghanimah dengannya. Kembalikan Ghanimah kepada pemiliknya'. Rasulullah bersabda kepada warga Makkah tersebut, 'Abu Bakar berkata benar, kembalikan Ghanimah tersebut kepada pemiliknya'. Aku pun mengambil Ghanimah dari warga Makkah tersebut, kemudian menjualnya. Dari hasil penjualannya aku membeli kebun kurma dan itulah kekayaan pertama yang aku miliki".
Ibnu Ishaq berkata, "Ketika orang-orang kabilah Hawazin takluk, korban banyak sekali di pihak Tsaqif tepatnya di Bani Malik, tujuh puluh orang dari mereka terbunuh di bawah bendera perang mereka, termasuk di dalamnya Utsman bin Abdullah bin Rabi'ah bin Al-Harits bin Habib. Tadinya bendera perang mereka dipegang Dzu Al-Khimar. Ketika Dzu Al-Khimar tewas, bendera perang tersebut diambil alih Utsman bin Abdullah yang kemudian bertempur dengan bendera perang tersebut hingga terbunuh".
"Ketika orang-orang musyrikin kalah di Perang Hunain, mereka pergi ke Thaif bersama Malik bin Auf An-Nashri, sebagian dari mereka bermarkas di Lembah Authas, sebagian dari mereka pergi ke Nakhlah, dan yang pergi ke Nakhlah hanyalah Bani Ghiyarah dan Tsaqif. Pasukan berkuda Rasulullah membuntuti orang-orang yang melintasi Nakhlah dan tidak membuntuti orang-orang yang melewati Ats-Tsunaya."
"Rasulullah menyuruh Abu Amir Al-Asy'ri menelusuri jejak-jejak orang-orang musyrikin yang pergi ke arah Lembah Authas, kemudian Abu Amir Al-Asy'ari menemukan sebagian orang-orang musyrikin yang kalah tersebut, kemudian perang terjadi antara kedua belah pihak. Pada perang tersebut, Abu Amir Al-Asy'ari terkena lemparan panah hingga gugur, kemudian bendera perang diambil alih Abu Musa Al-Asy'ari yang tidak lain adalah anak paman Abu Amir Al-Asy'ari. Abu Musa Al-Asy'ari bertempur melawan orang-orang musyrikin hingga Allah memberikan kemenangan kepadanya dan memukul mundur orang-orang musyrikin tersebut.
"Ketika orang-orang kabilah Hawazin menderita kekalahan, Malik bin Auf An-Nashri pergi kemudian berhenti di tengah-tengah para pasukan berkuda kaumnya di jalan sempit di satu gunung. Ia berkata kepada anak buahnya, 'Berhentilah hingga orang-orang lemah kalian bisa berjalan di depan dan teman-teman kalian di belakang bisa menyusul'. Di jalan sempit tersebut, Malik bin Auf An-Nashri dan anak buahnya ber-henti hingga orang-orang musyrikin yang kalah bisa menyusul mereka.
Rasulullah berjalan melewati wanita yang dibunuh Khalid bin Walid dan orang-orang mengerumuninya. Beliau bersabda, "Apa yang terjadi?" Orang-orang menjawab, "Mayat wanita yang dibunuh Khalid bin Walid". Rasulullah bersabda kepada salah seorang sahabat yang bersama beliau, "Cari Khalid dan katakan kepadanya bahwa Rasulullah melarangmu membunuh anak, wanita, dan orang sewaan".
Rasulullah bersabda ketika itu, "Jika kalian berhasil menangkap Bijad, seorang lelaki dari Bani Sa'ad bin Bakr, jangan biarkan dia lolos dari kalian". Sebelumnya, Bijad mengerjakan kejahatan. Ketika kaum muslimin berhasil menangkapnya, mereka menggiringnya bersama ke-luarganya, termasuk Syaima' binti Al-Harits bin Abdul Uzza yang tidak lain adalah saudara perempuan sesusuan Rasulullah. Kaum muslimin bersikap kasar terhadap Syaima' binti Al-Harits, untuk itu, Syaima' binti Al-Harits berkata kepada kaum muslimin, "Ketahuilah, aku adalah saudara perempuan sesusuan sahabat kalian (Rasulullah SAW)". Kaum muslimin tidak mempercayai ucapan Syaima' tersebut hingga membawa Syaima' ke tempat Rasulullah".
Ketika kaum muslimin tiba di tempat Rasulullah dengan membawa Syaima', maka Syaima' binti Al-Harits berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, aku saudara perempuan sesusuanmu". Rasulullah bersabda, "Apa tandanya?".
Syaima binti Al-Harits berkata, "Bekas gigitan. Engkau pernah menggigit punggungku ketika aku menggendongmu". Rasulullah mengenali bukti tersebut, kemudian beliau membentangkan kain burdahnya untuk Syaima binti Al-Harits, menyuruhnya duduk di atas kain burdah tersebut, dan mengajukan beberapa tawaran kepadanya. Rasulullah bersabda kepada Syaima' binti Al-Harits, "Jika engkau mau tinggal bersamaku, engkau dicintai dan dimuliakan. Namun jika engkau ingin aku memberimu sesuatu dan engkau pulang kepada kaummu, itu akan aku lakukan". Syaima binti Al-Harits berkata, "Aku ingin engkau memberikan sesuatu kepadaku dan memulangkanku kepada kaumku". Rasulullah memberikan sesuatu kepada Syaima' binti Al-Harits dan memulangkannya kepada kaumnya. Bani Sa'ad mengklaim bahwa Rasulullah memberi Syaima' binti Al-Harits budak laki-laki bernama Makhul dan budak wanita, kemudian keduanya menikah dan anak keturunan keduanya masih ada pada mereka hingga sekarang".
Menghalau Musuh
Musuh mundur. Sebagian ada yang lari ke Thaif, ada pula
yang lari ke Nakhlah, dan ada pula yang ke Authas. Rasulullah saw. lalu mengirim
sebagian balatentaranya ke Authas untuk mengejar musuh. Mereka dipimpin oleh Abu
Amir al-Asy'ari. Terjadilah pertempuran kecil di sana, kemudian balatentara kaum
musyrikin itu pun mundur lebih jauh lagi. Tetapi dalam insiden ini, panglima
kaum muslimin, Abu Amir al-Asy'ari, gugur terbunuh.
Pengumpulan Harta Rampasan
Perang
Harta rampasan Perang Hunain terdiri atas: 3.000 orang
tawanan, 24.000 ekor unta dan kambing lebih dari 40.000 ekor, serta 4.000 uqiyah
uang perak.
Rampasan perang sebanyak itu diangkut ke Ji'ranah, lalu
Rasulullah saw. menyuruh agar semuanya dikumpulkan dan ditahan dulu, tidak
dibagi, dan diserahkan kepada Mas'ud bin Amr al-Ghifari untuk menjaganya, sampai
usainya Perang Thaif.
Di antara tawanan itu ada seorang wanita bernama Syaima'
binti Harits as-Sa'diyah. Dia adalah saudara perempuan Rasulullah saw. sesusuan.
Ketika dia dibawa ke hadapan beliau, dia memperkenalkan dirinya dan beliau pun
dapat mengenalinya dari adanya suatu tanda. Beliau lalu memuliakan wanita itu,
bahkan beliau menggelar serbannya dan menyuruh wanita itu duduk di atasnya.
Selanjutnya, ia dimerdekakan dan dikembalikan kepada
kaumnya.
Ibnu Ishaq berkata: "Setelah itu, seluruh para tawanan dan harta
rampasan dari Perang Hunain diserahkan kepada Rasulullah. Harta rampasan
tersebut dijaga Mas'ud bin Amr Al-Ghifari. Rasulullah memerintahkan para tawanan
dan harta rampasan di bawa ke Al-Ji'ranah untuk disimpan di sana".
HIKMAH PERANG HUNAIN
Adapun cobaan Rabbani dalam Perang Hunain ini terjadi pada dua sisi.
HIKMAH PERANG HUNAIN
Adapun cobaan Rabbani dalam Perang Hunain ini terjadi pada dua sisi.
Pertama, pada saat susah (dharra'), yaitu ketika terjadinya kekalahan pada permulaan Perang Hunain dan
pada saat tidak berhasilnya pengepungan terhadap benteng
Thai'f.
Sebenarnya, sebelum terjadi pertempuran, Rasulullah saw.
telah mengirimkan pasukan penyelidiknya yang terbaik. Namun dengan kehendak
Allah Ta'ala, pasukan penyelidik itu tidak mengetahui adanya para pengintai dari
pihak musuh yang tersebar di berbagai celah bukit. Akibatnya, terjadilah
pertempuran itu.
Siapa pun yang membaca kejadian-kejadian selama Perang
Hunain ini akan terheran-heran. Kita akan melihat, serbuan yang tiba-tiba dari
pihak Hawazin telah mampu membuat seluruh balatentara Islam kehilangan
keseimbangan, sampai pasukan inti yang terkenal tangguh itu pun kehilangan
keseimbangan pula, lalu mereka lari menyelamatkan diri saking dahsyatnya serbuan
yang tiba-tiba itu. Padahal selama ini, pasukan inti ini tidak pernah mengalami
goncangan sehebat ini sepanjang sejarahnya, selain dalam Perang
Uhud.
Karena demikian dahsyatnya serbuan musuh yang tiba-tiba
itu, larilah seluruh balatentara Islam. Tidak ada lagi yang bertahan menyertai
Rasulullah saw. selain belasan orang saja. Mereka terdiri atas dua
golongan.
Rombongan
Pertama,
keluarga dekat Rasulullah saw.: Abbas bin Abdul Muththalib, Fadhal
bin Abbas, Rabi'ah bin Harits bin Abdul Muththalib, dan Abu Sufyan bin Harits
bin Abdul Muththalib.
Rombongan
Kedua, para pendukung da'wah angkatan pertama: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
dan Abu Dujanah.
Rombongan
Ketiga dari angkatan muda: Aiman bin Ubaid dan Usamah bin
Zaid.
Rombongan
Keempat dari kaum wanita: Ummu Sulaim binti Malhan (yang waktu itu sedang
mengandung bayinya yang bernama Abdullah bin Abu Thalhah), Ummu Imarah binti
Ka'ab, Ummu Salith, dan Ummu Harits.
Tidak tertutup kemungkinan pula terjadinya pertempuran
yang dahsyat di tempat lain. Hanya saja pasukan berani mati inilah yang waktu
itu masih bertahan di sekitar Rasulullah saw.
Kedua, pada saat senang (sarra'), yaitu ketika mendapat harta rampasan perang.
Rasulullah saw. sampai di Ji'ranah pada malam Kamis, 5
Dzulqa'idah. Waktu itu, para tawanan dan seluruh harta rampasan telah terkumpul
di sana. Para tawanan dibuatkan kemah-kemah untuk berlindung dari sengatan
matahari. Mereka berjumlah 6.000 orang. Terdapat 24.000 ekor unta, 40.000 ekor
kambing. Ada pula yang mengatakan lebih dari itu. Rasulullah saw. telah menyuruh
Busr bin Sufyan al-Khuza'i pergi ke Mekah untuk membeli pakaian untuk para
tawanan. Semuanya diberi pakaian. Akan tetapi, beliau tidak segera membagi-bagi
para tawanan.
Begitu Rasulullah saw. sampai di Ji'ranah sepulang beliau dari
Tha'if, yang pertama-tama beliau lakukan ialah membagi harta. Adapun yang
pertama-tama beliau beri ialah para mu'allaf, yakni mereka yang hatinya sedang dibujuk agar teguh
keislamannya.
Di antara harta rampasan yang beliau peroleh ada uang
perak seharga 40.000 uqiyah. Datanglah Abu Sufyan bin Harb saat uang perak itu
ada di depan Rasulullah saw. Abu Sufyan berkata, "Ya Rasul Allah, kini engkau
menjadi orang Quraisy yang paling kaya."
Mendengar itu, Rasulullah saw. tersenyum. Abu Sufyan
berkata lagi, "Berilah aku sebagian dari ini, ya Rasul
Allah."
Rasulullah memanggil, "Hai Bilal, timbanglah untuk Abu Sufyan 40 uqiyah dan beri dia
100 ekor unta." "Untuk anakku, Yazid?" Tanya
Abu Sufyan pula.
"Timbanglah untuk Yazid 40 uqiyah dan beri dia 100 ekor unta,"
perintah Rasul pula. "Untuk anakku, Mu'awiyah, ya Rasul Allah?" Tanya
Abu Sufyan.
Rasulullah pun memerintahkan, "Timbanglah untuknya, hai Bilal, 40 uqiyah dan beri dia 100 ekor
unta."
Karenanya, berkatalah
Abu Sufyan, "Sungguh, engkau benar-benar dermawan. Kutebus engkau dengan
ayah dan ibuku. Demi Allah, aku telah memerangimu, ternyata engkau adalah
sebaik-baik orang yang diperangi. Selanjutnya, aku berdamai denganmu, ternyata
engkau juga sebaik-baik orang yang diajak berdamai. Semoga Allah memberi balasan
yang terbaik kepadamu".
Pada hari itu, Hakim bin Hizam juga meminta kepada Rasulullah saw.
100 ekor unta dan Rasulullah memberinya. Selanjutnya, dia meminta 100 ekor lagi
dan diberi pula. Setelah itu, ia meminta lagi 100 ekor, maka diberinya pula oleh
Rasulullah saw. seraya bersabda, "Hai Hakim putra Hizam, sesungguhnya harta ini hijau manis.
Karenanya, barangsiapa yang mengambilnya dengan hati yang dermawan maka dia akan
diberi barkah padanya. Dan, barangsiapa yang mengambilnya dengan hati tamak, dia
takkan diberi barkah padanya. Manusia seperti itu bagaikan orang yang makan,
tapi tidak kenyang-kenyang juga. Tangan orang yang di atas adalah lebih mulia
dari pada tangan yang di bawah. Mulailah kamu (memberi) orang yang menjadi
tanggunganmu".
Mendapat teguran seperti itu, Hakim akhirnya hanya
mengambil 100 ekor unta, yaitu pemberian yang pertama saja, sedangkan selebihnya
dia tinggalkan.
Rasulullah saw. juga memberi 100 ekor unta kepada Nadhir
bin Harits, saudara Nadhar bin Harits. Beliau pun memberi 100 ekor unta kepada
Asid Jariyah, sekutu Bani Zuhrah. Adapun kepada Ala' bin Jariyah, beliau hanya
memberi 50 ekor unta. Harits bin Hisyam dan Shafwan bin Umaiyah, masing-masing
diberi 100 ekor unta.
Setelah Rasulullah saw.. memberi banyak-banyak kepada kaum Quraisy
dan kabilah-kabilah Arab lainnya, sedang kaum Anshar sama sekali tidak diberi
apa-apa, agaknya mereka menggerutu juga dalam hati, bahkan kemudian timbullah
berbagai ucapan dari mereka, sampai ada yang berkata, "Sesungguhnya, Rasulullah
saw. telah bertemu dengan kaumnya". Karena itu, Sa'ad bin Ubadah segera menemui
beliau lalu berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya kabilah Anshar ini benar-benar
telah mengecam Anda dalam hati mereka terhadap pembagian harta rampasan itu,
karena mereka sama sekali tidak mendapat apa-apa." Rasulullah saw.
memerintahkan, "Kalau begitu, kumpulkan kaummu kemari, di tenda
ini."
Setelah semuanya berkumpul, datanglah Sa'ad kepada Rasulullah saw.
lalu berkata, "Kabilah Anshar telah berkumpul, menunggu kehadiran Anda".
Kemudian beliau bersabda, "Hai sekalian kaum Anshar, ucapan apakah yang telah sampai
kepadaku dari kalian. Benarkah kamu mengecam diriku dalam hatimu? Bukankah aku
telah datang kepadamu saat kamu dalam keadaan tersesat maka Allah memberimu
petunjuk; dan kamu dalam keadaan miskin maka Allah menjadikan kamu kaya; dan
kamu dalam keadaan saling bremusuhan maka Allah menghimpun hati di antara sesama
kamu?"
Kemudian, Rasulullah saw. bersabda, "Mengapa kalian tidak menjawab pertanyaanku, hai sekalian kaum
Anshar?"
Bagaimanakah kami harus menjawab kepadamu, ya
Rasulullah?"Kata mereka. "Sungguh, Allah dan Rasul-Nya itulah nikmat dan karunia
yang terbaik."
Rasul saw. bersabda, "Adapun kalau kamu mau mengatakan, demi Allah, maka benarlah dan
dibenarkan apa yang kamu katakan, yaitu, 'Engkau datang kepada kami dalam
keadaan didustakan maka kami membenarkan kamu; dalam keadaan terhina maka kami
menolongmu; dalam keadaan terusir maka kami memberimu perlindungan; dalam
keadaan miskin maka kami memberimu bantuan.'
Hai sekalian kaum Anshar, kalian menggerutu dalam hatimu
mengenai dunia yang tidak seberapa ini, yang aku gunakan membujuk hati kaum agar
mereka mau masuk Islam. Adapun mengenai kalian, aku sudah percaya akan keislaman
kalian.
Hai
sekalian kaum Anshar, tidakkah kalian senang jika orang-orang itu pergi membawa
kambing dan unta, sedangkan kamu sekalian pulang ke rumahmu membawa Rasul Allah.
Demi Allah yang menggenggam jiwa Muhammad, andaikan tidak ada hijrah, niscaya
aku menjadi salah seorang warga Anshar. Dan andaikan semua orang yang menempuh
sebuah celah bukit, sedangkan kaum Anshar menempuh celah yang lain, niscaya aku
ikut menempuh celah yang dipilih kaum Anshar. Ya Allah, rahmatilah kaum Anshar,
anak-anak kaum Anshar, dan cucu-cucu kaum Anshar."
Mendengar penuturan Rasulullah saw. itu, menangislah
semua yang hadir, sampai janggut mereka basah oleh air mata. Mereka semua
mengatakan, 'Kami senang mendapat Rasulullah sebagai bagian dan jatah untuk
kami.'Rasulullah saw. menyudahi kata-katanya dan mereka pun
bubar.
Kini, yang masih tetap berperan ialah perjuangan politik
dan memanfaatkan segala kesempatan untuk memusnahkan rasa dengki dan dendam dari
dalam hati lawan, supaya hati mereka mau tunduk kepada Islam. Dalam hal ini,
Ibnu Ishaq menceritakan sebagai berikut, Delegasi Hawazin lalu datang menemui
Rasulullah saw. di Ji'ranah. Mereka
telah masuk Islam. Mereka berkata, 'Ya Rasulullah, sesungguhnya kami adalah satu
kakek dan satu keluarga, dan kami benar-benar telah ditimpa bencana, sebagaimana
tidak samar bagi Anda. Karena itu, bermurah hatilah kepada kami. Semoga Allah
membalas kemurahan hati Anda'.
Seorang lelaki dari Hawazin berdiri, kemudian disusul
oleh seseorang dari Bani Sa'ad bin Bakar bernama Zuhair (ia biasa dipanggil Abu
Shurad). Dia berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya di antara tawanan-tawanan
wanita itu ada beberapa orang yang tak lain adalah bibi-bibimu, juga dari pihak
ayah maupun ibumu, dan para pengasuhmu yang dulu pernah merawat dirimu. Padahal,
andaikan kami menyusukan Harits bin Abu Syimr atau Nu'man bin Mundzir, kemudian
dia menawan orang-orang kami seperti yang engkau tawan, niscaya kami bisa
berharap belas kasih dan karunianya kepada kami. Adapun engkau adalah
sebaik-baik orang yang patut membalas jasa
pengasuhan".
Rasulullah saw. bertanya, "Anak-anak dan istri-istrimu ataukah hartamu yang lebih kalian
sukai?" Mereka menjawab, "Ya Rasul Allah, engkau menyuruh kami memilih antara
harta dan keluarga kami. Kembalikanlah kepada kami istri-istri dan anak-anak
kami. Itu lebih kami sukai".
Rasulullah saw. bersabda kepada mereka, "Adapun bagianku dan bagian Bani Abdul Muththalib kuberikan
kepadamu. Apabila aku shalat zhuhur bersama jama'ah nanti, berdirilah kalian dan
katakanlah, 'Sesungguhnya, kami memohon syafa'at dengan Rasulullah kepada kaum
muslimin dan dengan kaum muslimin kepada Rasulullah mengenai anak-anak dan
istri-istri kami'. Maka, saat itulah aku akan memberimu dan memintakan( kepada
kaum muslimin) untukmu."
Betul, tatkala Rasulullah saw. melakukan shalat Zhuhur, bangkitlah
para delegasi dari Hawazin itu dan mengatakan seperti yang diperintahkan Nabi
saw. tadi. Berkatalah Rasulullah saw., "Adapun bagianku dan bagian Bani Abdul Muththalib kuberikan
kepadamu."
Dengan seketika, kaum Muhajirin pun berkata, "Bagian
kami adalah untuk Rasulullah saw.' Begitu pula ucapan kaum Anshar, "Bagian kami
juga untuk Rasulullah saw.' Lain halnya sikap Aqra' bin Habis, dia berkata,
"Adapun aku dan Bani Tamim, tidak".
Begitu pula ucapan Uyainah bin Hishn, "Adapun aku dan
Bani Fazarah juga tidak."
Selanjutnya, disusul Abbas bin Midras, dia berkata,
"Adapun aku dan Bani Sulaim juga tidak". Akan tetapi, Bani Sulaim sendiri malah
menyatakan, "Bagian kami untuk Rasulullah saw." Karena itu, Abbas bin Midras
kemudian berkata kepada Bani Sulaim, "Kalian telah menghina
aku".
Melihat sikap para sahabatnya seperti itu, Rasulullah saw. bersabda,
"Siapa saja di antara kamu yang mempertahankan haknya atas para
tawanan ini, (kalau dia mau menyerahkan kepadaku) maka akan mendapat imbalan
sebanyak enam bagian harta atas setiap orang tawanan, dari sejak tawanan pertama
yang kuterima. Karena itu, kembalikanlah kepada orang-orang (Hawazin) itu
anak-anak dan istri-istri mereka".
Berikut ini di antara pelajaran-pelajaran
tersebut:
- Harus dibedakan antara harta milik umum dan harta milik pribadi.
Haram menggunakan harta milik umum sebelum diadakan pembagian, berapa pun
jumlahnya, meskipun hanya segulung wol, sebatang jarum, atau sehelai benang.
Bahwasanya menganggap enteng penggunaan barang milik umum ini bisa menyeret ke
neraka,
??????? ??????????? ???????? ????? ???????? ?????? ??
?????? ?? ???????? ?????? ????????????
"Sesungguhnya, berlaku curang itu akan menjadi
cela, api, dan cacat pada pelakunya di hari
kiamat".
- Ketentuan jumlah bagian untuk masing-masing orang yang diberi dalam
pembagian tersebut secara adil, diserahkan kepada pimpinan jama'ah. Jadi, dialah
yang menyuruh membagi, menentukan berapa, dan untuk apa saja dalam pembagian
itu, dengan berpedoman pada kepentingan da'wah dan
syari'at.
- Pada prinsipnya, hendaklah harta itu digunakan untuk menyeru manusia
kepada Islam, sekalipun itu tidak disukai menurut pendapat para da'i dan hati
yang belum sadar serta perasaan yang masih
berontak.
- Aktivis muslim yang sudah kuat imannya bisa saja tidak diberi sama
sekali dalam pembagian ini. Hal itu, pada dasarnya dan hakikatnya, menurut Allah
justru demi kepentingan makhluk-Nya. Kali ini karena seseorang tidaklah dinilai
dengan gaji yang patut diterimanya, tetapi dinilai atas taqwa dan amal
salehnya.
- Pimpinan harus senatiasa menjalin hubungan yang erat dengan para
anggotanya. Dia harus segera tanggap terhadap keraguan yang bergejolak dalam
hati mereka dan segera menjelaskan program umum yang hendak ditempuh
balatentaranya serta menghilangkan isu buruk yang berkembang di kalangan mereka.
Kalau tidak, pimpinan akan kehilangan para
anggotanya.
- Merupakan bahaya besar apabila seorang prajurit menempatkan diri pada
posisi panglimanya dan mengeluarkan keputusan -keputusan yang melawan
pimpinannya. Yakni, apabila dia berpegang pada ketetapan secara harfiyah,
sehingga dia terseret untuk keluar dari Islam meskipun dia sebenarnya
menginginkan Islam itu sendiri. Akhirnya, dia terseret kepada pihak non muslim
meskipun dia sebenarnya masih tetap ingin menjadi
muslim.
- Ditinjau dari segi kesalehan dan ketaqwaan mereka, tabiat anak-anak
muda itu tidaklah perlu diragukan.
???????????? ??????????? ????? ???????????,
????????????? ????? ???????????
"Kamu memandang rendah shalat kamu dibanding
dengan shalat mereka dan (kamu memandang rendah) puasa kamu dibanding puasa
mereka."
Akan tetapi, mereka menganggap diri mereka sebagai hakim
dan mufti, lalu mengeluarkan hukum-hukum.
Fenomena yang mereka sukai ini tentu harus dibedakan
dari sekadar memberi saran, meminta penjelasan, dan bertanya. Seperti yang
dilakukan Sa'ad ra. dan kaum Anshar lainnya, umpamanya. Mereka memang mengecam
Rasulullah saw. ketika mereka ternyata tidak diberi sedikit pun dari harta
rampasan. Tapi yang mereka lakukan kemudian, sebatas bertanya dan meminta
penjelasan, tidak sampai menuduh macam-macam kepada Rasulullah saw., berbeda
dengan yang dilakukan Dzul Khuwaisharah. Adapun orang yang satu ini, dia sampai
berani menuduh Rasulullah saw tidak adil.
h Juga harus dibedakan antara sikap seorang prajurit kepada Rasulullah
saw. dan sikap seorang prajurit kepada panglimanya yang lain. Keraguan terhadap
keadilan Rasulullah saw. adalah jelas kafir. Adapun keraguan terhadap keadilan
panglima mana pun yang lain, tidaklah termasuk kafir, tapi hanya termasuk
kesalahan struktural (Khatha' tanzhimi) saja, yang bisa merusak jamaah dan memorak-porandakan
kesatuan.
i Seorang prajurit pejuang akan tetap lebih berharga dalam timbangan
Allah dan timbangan pemimpinnya dari pada segala kekuatan, kepemimpinan, dan
kehebatan apa pun di muka bumi, selagi perjuangannya berangkat karena motivasi
agamanya, bukan karena kepentingan pribadi. Karena itu, Ja'il bin Suraqah adalah
lebih baik dari pada para pengincar bumi( harta) semacam Uyainah dan Aqra',
umpamanya, meski mereka sama-sama baru masuk Islam dan sama-sama mendapat
penghormatan yang tiada tara.
Tempat tinggal kabilah Tsaqif tidak jadi dirobohkan
dengan kekuatan militer atau pun penyerbuan, dengan tujuan agar nanti roboh
sendiri dengan perang gerilya, yang akan dilancarkan oleh Malik bin Auf, kepada
kabilah Hawazin, dan lewt perang psikologi yang akan menggoyahkan sendi-sendi
keberadaannya, sehingga mereka benar-benar menyadari bahwa tidak ada gunanya
melawan Nabi Muhammad saw.
0 komentar:
Post a Comment