LATAR BELAKANG
Ada suatu peristiwa penting yang
terjadi di Jazirah Arab Utara, yaitu
masuk Islam nya Farwah bin Amr al-Judzami. Dia adalah salah seorang panglima
Romawi, bahkan menjadi gubernur yang menguasai kabilah-kabilah Arab yang setia
kepada Romawi. Dia tinggal di Ma'an di sekitar negeri
Syam.
Dikisahkan, ketika keislaman Farwah
didengar pihak Romawi, dia pun dicari oleh mereka, lalu ditangkap dan
dipenjarakan. Saat itu Farwah berkata,
"Sungguh Abu Kabisyah telah kuberi
tahu, bahwa aku tidak terpotong lidahku
di tengah teman-temanku kaum ningrat
yang tehormat, jadi kalau aku
binasa,
kalian kehilangan saudaramu niscaya.
Dan kalau masih hidup aku, kalian pasti
tahu kedudukanku. Sungguh, aku telah
punya segala apa-apa yang paling berharga yang patut dipunya seorang pemuda:
Kebaikan, keberanian, dan kefasihan
bicara.
Tatkala Romawi sepakat untuk menyalib
Farwah di sebuah mata air milik mereka yang bernama Afra' di Palestina,
berkatalah Farwah,
.
"Oh, adakah berita yang sampai
kepada Sulma,
bahwa suaminya, di mata air Afra' naik
sebuah kendaraan surga?
Tatkala mereka menyeretnya untuk
membunuhnya, dia berkata,
"Segenap kaum muslimin mendengar
kiranya, bahwa aku telah serahkan
segalanya
kepada Rabbku segenap tulang-tulangku,
dan juga seluruh kedudukanku.
Bila Perang Mu'tah terjadi karena terbunuhnya Harits bin
Umair al-Uzdi, seorang delegasi Rasulullah saw., maka Perang Tabuk, terjadi
karena terbunuhnya Farwah bin Amr al-Judzami. Sungguh, begitu berharganya nilai
seorang prajurit dalam Islam. Ketika kaum muslimin mampu melindunginya,
bagaimanapun juga, itu harus dilakukan, yakni harus menuntut balas untuknya
sekalipun akan mengakibatkan pecahnya perang besar. Dalam hal ini, baik bai'at
Ridhwan, Perang Tabuk, Perang Mu'tah kali ini, maupun delegasi perang yang
dipimpin Usamah ke perbatasan Syam dulu, semuanya bukanlah rahasia, sudah
sama-sama kita maklumi. Semua itu terjadi demi menuntut balas terhadap para
pengkhianat yang telah membunuh para delegasi Rasulullah saw. dan tidak
mempedulikan kode etik diplomasi, bahkan bertindak sewenang-wenang ketika lawan
mereka tidak berdaya. Padahal, semestinya delegasi mana pun tidak boleh dibunuh.
Kalau para pengkhianat itu sampai melakukan hal itu, tidak ada lagi maksudnya
selain menantang untuk perang.
Ibnu Katsir berpendapat bahwa sebab peperangan Tabuk yang paling
mendasar ialah dalam rangka menunaikan kewajiban berjihad (maksudnya memerangi
suatu negara/kaum sebagai sarana untuk membebaskan negara tersebut dari
peribadatan kepada selain Allah -pent). Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam telah bertekad untuk memerangi Romawi, karena merekalah kaum yang
paling dekat kepada Islam, juga kaum yang paling utama untuk disampaikan dakwah
kepada al haq, dan dalam rangka mendekatkan mereka pada Islam dan pemeluknya.
Allah Ta'ala berfirman "Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang
kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap keras dari
kalian, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang
bertakwa" (QS. At Taubah : 123)
Pendapat Ibnu Katsir ini lebih mencocoki kebenaran, dari pendapat-pendapat ahli sejarah lain tentang sebab perang Tabuk, karena perintah yang mendasari adanya kewajiban jihad ialah memerangi kaum musyrikin, kemudian jika telah tertunaikan (perang Tabuk dilaksanakan setelah Fathu Makkah -pent), barulah memerangi ahli kitab yang menghambat dakwah Islam dan melakukan provokasi terhadap kaum muslimin.
Namun tidak menutup kemungkinan juga apa yang disebutkan oleh para ahli sejarah, bahwa sebab perang Tabuk diawali dari ambisi Romawi untuk memerangi kaum muslimin, dalam rangka mencegah adanya kemungkinan lepasnya daerah-daerah jajahan Romawi lainnya.
Pendapat Ibnu Katsir ini lebih mencocoki kebenaran, dari pendapat-pendapat ahli sejarah lain tentang sebab perang Tabuk, karena perintah yang mendasari adanya kewajiban jihad ialah memerangi kaum musyrikin, kemudian jika telah tertunaikan (perang Tabuk dilaksanakan setelah Fathu Makkah -pent), barulah memerangi ahli kitab yang menghambat dakwah Islam dan melakukan provokasi terhadap kaum muslimin.
Namun tidak menutup kemungkinan juga apa yang disebutkan oleh para ahli sejarah, bahwa sebab perang Tabuk diawali dari ambisi Romawi untuk memerangi kaum muslimin, dalam rangka mencegah adanya kemungkinan lepasnya daerah-daerah jajahan Romawi lainnya.
Nama Lain Perang Tabuk
Perang ini terkenal dengan nama perang Tabuk,
dinisbatkan kepada sebuah tempat yaitu mata air Tabuk, tempat tujuan pasukan
Islam (yang tengah bersafar -pent). Asal nama ini terdapat dalam Shahih Muslim,
diriwayatkan dari Mu'adz bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Besok kalian insya Allah akan menuju mata air Tabuk, dan sungguh
kalian tidak akan mendatanginya hingga matahari meninggi, maka barangsiapa yang
telah sampai disana janganlah membasuh dengan air (maksudnya berwudhu untuk
shalat Dhuhur -pent) hingga aku sampai". (HR Muslim 4/1784)
Ada penamaan lain untuk perang ini yaitu perang 'Usrah, dan telah ditetapkan penamaan ini dalam Al Qur'an Al Karim ketika menceritakan tentang perang ini, dalam surat At Taubah, Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa 'usrah (kesulitan), setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka" (QS At Taubah : 117)
Al Bukhari meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Abu Musa Al Asy'ari, beliau berkata, "Sahabat-sahabatku mengutusku menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk meminta sejumlah hewan tunggangan karena mereka telah mengambil bagian dalam perang 'Usrah, yaitu perang Tabuk.", dan Al Bukhari memberi judul bab, "Bab Perang Tabuk yaitu Perang 'Usrah". (Shahih Al Bukhari 5/150 no 4415)
Disebut dengan perang 'usrah karena berbagai macam kesulitan dijumpai oleh kaum muslimin, cuaca buruk, jarak tempuh yang sangat jauh, perjalanan yang sulit karena sedikitnya bekal dan ransum yang dibawa oleh kaum muslimin menuju medan tempur, sedikitnya air selama safar yang panjang padahal mereka menghadapi cuaca yang sangat terik, juga sedikitnya harta yang dibawa oleh pasukan, maupun yang diinfakkan untuk mereka. Dalam tafsir Abdur Razzaq dari Ma'mar bin 'Uqail beliau berkata, "Mereka keluar dengan kenampakan jumlah pasukan yang sedikit, cuaca yang sangat terik, hingga para pasukan terpaksa membunuh unta-unta, kemudian membelah perutnya untuk mengambil cadangan air dalam perut unta tersebut, itulah krisis air yang terjadi waktu itu"
Al Faruq Umar bin Khathab menceritakan beratnya rasa haus yang dialami kaum muslimin waktu itu, "Kami keluar bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menuju medan Tabuk, dalam cuaca terik yang teramat sangat, dan kami merasa teramat haus hingga mengira leher-leher kami akan putus, sampai-sampai jika salah seorang dari kami ingin pergi untuk membuang hajat dan ia tak kunjung kembali, kami mengira lehernya telah putus (karena mati kehausan -pent), dan sampai-sampai seseorang menyembelih untanya (padahal unta adalah harta dan perbekalan perang yang sangat penting -pent) untuk membelah perutnya kemudian minum cadangan air dalam perutnya tersebut"
Ada penamaan ketiga untuk perang ini, yaitu Al Fadhahah. Az Zarqaniy rahimahullah meriwayatkan dalam kitabnya "Syarh Al Mawahib", dinamai demikian karena perang ini menyingkap hakikat kaum munafiqin, membongkar kedok mereka, membuka rencana permusuhan, makar, dan kedengkian mereka, dan membuka jati diri mereka yang keji.
Adapun lokasi Tabuk terletak di utara Hijaz, 778 mil dari kota Madinah, dan merupakan wilayah kekuasaan penguasa Romawi waktu itu.
Ada penamaan lain untuk perang ini yaitu perang 'Usrah, dan telah ditetapkan penamaan ini dalam Al Qur'an Al Karim ketika menceritakan tentang perang ini, dalam surat At Taubah, Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa 'usrah (kesulitan), setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka" (QS At Taubah : 117)
Al Bukhari meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Abu Musa Al Asy'ari, beliau berkata, "Sahabat-sahabatku mengutusku menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk meminta sejumlah hewan tunggangan karena mereka telah mengambil bagian dalam perang 'Usrah, yaitu perang Tabuk.", dan Al Bukhari memberi judul bab, "Bab Perang Tabuk yaitu Perang 'Usrah". (Shahih Al Bukhari 5/150 no 4415)
Disebut dengan perang 'usrah karena berbagai macam kesulitan dijumpai oleh kaum muslimin, cuaca buruk, jarak tempuh yang sangat jauh, perjalanan yang sulit karena sedikitnya bekal dan ransum yang dibawa oleh kaum muslimin menuju medan tempur, sedikitnya air selama safar yang panjang padahal mereka menghadapi cuaca yang sangat terik, juga sedikitnya harta yang dibawa oleh pasukan, maupun yang diinfakkan untuk mereka. Dalam tafsir Abdur Razzaq dari Ma'mar bin 'Uqail beliau berkata, "Mereka keluar dengan kenampakan jumlah pasukan yang sedikit, cuaca yang sangat terik, hingga para pasukan terpaksa membunuh unta-unta, kemudian membelah perutnya untuk mengambil cadangan air dalam perut unta tersebut, itulah krisis air yang terjadi waktu itu"
Al Faruq Umar bin Khathab menceritakan beratnya rasa haus yang dialami kaum muslimin waktu itu, "Kami keluar bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menuju medan Tabuk, dalam cuaca terik yang teramat sangat, dan kami merasa teramat haus hingga mengira leher-leher kami akan putus, sampai-sampai jika salah seorang dari kami ingin pergi untuk membuang hajat dan ia tak kunjung kembali, kami mengira lehernya telah putus (karena mati kehausan -pent), dan sampai-sampai seseorang menyembelih untanya (padahal unta adalah harta dan perbekalan perang yang sangat penting -pent) untuk membelah perutnya kemudian minum cadangan air dalam perutnya tersebut"
Ada penamaan ketiga untuk perang ini, yaitu Al Fadhahah. Az Zarqaniy rahimahullah meriwayatkan dalam kitabnya "Syarh Al Mawahib", dinamai demikian karena perang ini menyingkap hakikat kaum munafiqin, membongkar kedok mereka, membuka rencana permusuhan, makar, dan kedengkian mereka, dan membuka jati diri mereka yang keji.
Adapun lokasi Tabuk terletak di utara Hijaz, 778 mil dari kota Madinah, dan merupakan wilayah kekuasaan penguasa Romawi waktu itu.
Perguliran Informasi Tentang Romawi Yang Akan Menyerang Kaum
muslimin secara habis-habisan akhirnya sampai juga di madinah, sehingga pada
waktu itu kaum muslimin diliputi rasa ketakutan jika ada suara ganjil sedikit
dikiranya itu suara tapak kuda kaum romawi dan diperparang lagi dengan munculnya
informasi bahwa rasulullah menceraikan istrinya
Umar Bin Khotob Berkata "Aku mempunyai seorang sahabat dari kalangan
orang-orang Ansar. Sekiranya ku tidak dapat menghadiri majlis Rasulullah beliau
bertanggungjawab membuat perkhabaran dan menyampaikan beritanya, dan kalau beliau tidak
hadir aku pula melaporkan perkembangan semasa kepadanya. Mereka berdua ini tinggal
dibahagian atas di Madinah, mereka bergilir-gilir menghadiri majlis Rasulullah (s.a.w). Kami
semua curiga dengan salah seorang raja Ghassan. Telah dimaklumkan kepada kami bahawa
dia ini berhasrat untuk menyerang kami. Dada kami sentiasa berdebar-debar, tiba-tiba di
suatu hari saudaraku al-Ansar itu mengetuk pintu, dengan seruannya: Ayuh buka! Ayuh buka.
Terus ku bertanya, apakah orang-orang Ghassan menyerang? Jawab beliau; Tidak! tetapi lebih
parah lagi dari itu! Rasulullah telah mengasingkan diri dari isteri-isterinya"
Di dalam satu lafaz yang lain menyebut seperti berikut: "Sebelum ini kami sudah bercakap-cakap
di mana orang-orang Ghassan telahpun memakai kasut-kasut mereka sebagai persiapan
untuk menyerang kita, sahabat ku itu telah keluar dari rumahnya di hari gilirannya dan beliau
pulang di waktu Isya', sampai di hadapan rumahku beliau mengetuk pintu sekuat-kuatnya
sambil bertanya: apakah anda tidur ? Aku terkejut, dan terus keluar. Beliau berkata: Satu peristiwa
besar berlaku. Tanyaku, Apa dia? Apakah golongan Ghassan telah melanggar? Kata beliau:
Tidak! lanya lebih teruk dan lebih panjang lagi ceritanya. Rasulullah telah menceraikan semua
isterinya".
Cerita ini mengambarkan kedahsyatan suasana yang sedang dihadapi oleh umat Islam waktu itu
adapun informasi secara khusus datangnya dari kaum al-Anbat yang datang ke Madinah dari al-Syam kerana berdagang minyak.Mereka mencerikan bahawa pihak Herkules telah pun mempersiapkan satu angkatan bala tentera yang besar sejumlah empat puluh ribu orang askar/tentara . Pimpinan ketenteraan diserahkan kepada salah seorang pembesar Rom, tokoh ini telah bertugas mengerakkan qabilah Lakham,Jazam dan kelompok-kelompok lain yang menganut agama Nasara untuk turut bersama beliau.Berita kemaraan mereka sudah pun sampai ke daerah al-Balqa'. Beginilah lebih kurang malapetaka yang mengancam kaum muslimin.
Orang Munafik Membangun Masjid Dhiror
Di Madinah ada seorang pendeta Nasrani dari suku Khazraj bernama Abu Amir. Di kalangan Bani Khzaraj ia memiliki kedudukan penting. Ketika Rasulullah datang ke Madinah, dan masyarakat, termasuk Bani Khazraj, berbondong-bondong masuk Islam dan mengikuti beliau, Abu Amir mengambil sikap penentangan dan permusuhan. Ia kemudian pergi ke Mekkah meminta bantuan kaum musyrik Qurays untuk memerangi Rasulullah Saw.
Bukan hanya itu, setelah melihat makin meluasnya dakwah Islam, Abu Amir lantas pergi menemui Raja Romawi, Heraklius, meminta bantuan untuk menghadapi Rasulullah saw. Kepada Abu Amir, Heraklius menjanjikan apa yang diinginkannya. Kemudian ia tinggal di wilayah Heraklius. Nah, dari "tempat pengasingan" inilah, Abu Amir menulis surat kepada orang-orang munafik di Madinah yang menjanjikan kepada mereka apa yang dijanjikan oleh Heraklius kepada dirinya dan memerintahkan mereka agar membangun sebuah markas tempat mereka berkumpul untuk merealisasikan rencana jahat yang tertuang dalam suratnya tersebut.
Mereka kemudian membangun sebuah masjid di dekat Masjid Quba'. Masjid ini telah selesai mereka bangun sebelum Rasulullah Saw berangkat ke Tabuk. Kemudian mereka datang kepada Rasulullah, meminta agar beliau mau salat di tempat itu untuk dijadikan sebagai dalih dan bukti persetujuan. Kaum munafik itu beralasan masjid tersebut dibangun untuk orang-orang yang tidak dapat keluar di malam yang dingin. Tetapi, Allah Swt melindungi Rasulullah Saw dari melaksanakan salat di masjid tersebut. Atas permintaan itu Nabi Saw menjawab, "Kami sekarang mau berangkat. Insya Allah, nanti setelah pulang."
Sehari atau beberapa hari sebelum Rasulullah Saw tiba di Madinah dari perjalanan Perang Tabuk, Malaikat Jibril turun menyampaikan berita tentang masjid dhirar yang sengaja mereka bangun atas dasar kekafiran dan bertujuan memecah belah jamaah kaum Muslimin. Rasulullah kemudian mengutus beberapa sahabatnya untuk menghancurkan masjid tersebut sebelum beliau datang ke Madinah. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya).
Berkaitan dengan Masjid ini, turunlah firman Allah Swt, Surat At-Taubah ayat 107-108 yang membongkar hakikat masjid dhirar.
Rasulullah Memaklumatkan Perang
Az-Zuhri, Yazid bin Ruman, Abdullah bin Abu Bakr, Ashim bin Umar bin Qatadah, dan ulama-ulama kami lainnya, semuanya berkata kepadaku tentang Perang Tabuk seperti yang disampaikan kepadanya. Sebagian dari mereka menceritakan apa yang tidak diceritakan sebagian lainnya. Mereka berkata, ?§Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya bersiap-siap untuk menyerang Romawi. Itu terjadi ketika muslimin mengalami masa-masa sulit, cuaca sangat panas, musim kemarau, buah-buahan mulai ranum, orang-orang lebih menyukai berada di dekat buah-buah mereka dan tempat berteduh mereka, serta tidak suka berangkat dalam kondisi seperti itu. Rasulullah sendiri jarang keluar untuk perang kecuali merahasiakannya dan menjelaskan bahwa beliau menginginkan bukan daerah yang beliau tuju, kecuali Perang Tabuk dimana beliau menjelaskannya kepada kaum muslimin, karena perjalanannya sangat jauh, masa-masa yang sangat sulit, dan banyaknya musuh yang ingin beliau tuju. Rasulullah menjelaskan hal yang demikian agar manusia mengadakan persiapan. Betul kali ini, Rasulullah memerintahkan kaum muslimin bersiap-siap dan menjelaskan kepada mereka bahwa beliau hendak menyerang Romawi.
Pada suatu hari ketika tengah bersiap-siap, Rasulullah bersabda kepada Al-Jadd bin Qais, salah seorang dari Bani Salamah, ?¥Hai Al-Jadd, apakah pada tahun ini engkau ikut memerangi orang-orang berkulit kuning (Romawi)??¦ Al-Jadd bin Qais berkata, ?¥Wahai Rasulullah, berilah aku izin dan engkau jangan menjerumuskanku ke dalam fitnah. Demi Allah, kaumku telah mengenaliku bahwa tidak ada orang laki-laki yang cepat tertarik kepada wanita daripada aku. Oleh karena itu, aku khawatir jika aku melihat wanita-wanita berkulit kuning (Romawi), maka aku tidak sabar?¦. Rasulullah memalingkan muka dari Al-Jadd bin Qais dan bersabda, ?¥Aku mengizinkanmu?¦. Tentang Al-Jadd bin Qais ini, turunlah firman Allah SWT,
?¥Di antara mereka ada yang berkata, ?¥Berilah saya izin dan janganlah engkau menjerumuskanku ke dalam fitnah,?¥ ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah dan sesungguhnya Jahan-nam itu benar-benar meliputi orang-orang kafir?¦. (At-Taubah: 49)
Maksudnya, jika Al-Jadd bin Qais khawatir tergoda wanita-wanita Romawi, itu tidak akan terjadi padanya. Namun, fitnah yang ia telah jatuh ke dalamnya itu lebih besar, yaitu tidak ikut berangkat perang bersama Rasulullah dan lebih menyukai dirinya daripada diri beliau. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman, ?¥Sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang kafir?¦.
Orang Munafik Menghalang-halangi
Sebagian orang-orang munafik berkata kepada sebagian yang lain, ?¥Janganlah kalian berangkat pada musim panas seperti ini?¦. Mereka berkata seperti itu karena ingin mengecilkan arti jihad, membuat keragu-raguan tentang kebenaran, dan menggoyahkan Rasulullah. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat tentang mereka,
?§Mereka berkata, ?¥Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) di panas terik ini?¦. Katakanlah, ?¥Api Neraka Jahannam itu lebih sangat panas, ?¥jikalau mereka mengetahui. Maka hendaklah mereka terta-wa sedikit dan menangis banyak sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan?¦.?¨ (At-Taubah: 81-82)
Pengorbanan Harta Para Sahabat
Ibnu Ishaq berkata:
?§Rasulullah tetap bersemangat untuk berangkat, memerintahkan manusia bersiap-siap dan menyingsingkan lengan baju, menghimbau orang-orang kaya agar mereka berinfak, dan menanggung biaya jihad di jalan Allah. Kemudian sejumlah sahabat-sahabat yang kaya menanggung biaya jihad karena mengharap pahala Allah. Utsman bin Affan RA berinfak dalam jumlah besar dimana tidak ada seorang pun yang berinfak sebesar itu?¨
"Aku menyaksikan Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam memotivasi para
shahabat dalam Jaisy Al 'Usrah (yaitu Perang Tabuk -pent), maka Utsman bin Affan
berdiri dan berkata, 'Wahai Rasulullah! Aku akan memberikan 100 unta lengkap
dengan muatan dan pelananya di jalan Allah!'. Lalu Nabi shallallaahu 'alaihi
wa sallam memotivasi lagi, dan Utsman kembali berdiri dan berkata, 'Wahai
Rasulullah! Aku akan memberikan 200 unta lengkap dengan muatan dan pelananya di
jalan Allah!'. Lalu Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memotivasi
lagi, dan Utsman kembali berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah! Aku akan
memberikan 300 unta lengkap dengan muatan dan pelananya di jalan Allah!'. Maka
aku melihat Rasulullah turun dari mimbar dan berkata, 'Tidak ada bagi Utsman
sesuatu yang akan menimpanya setelah ini, tidak ada bagi Utsman sesuatu yang
akan menimpanya setelah ini'. (Diriwayatkan oleh At Tirmidzi 5/626)
Dari Abdurrahman bin Samurah radhiyallaahu 'anhuma beliau berkata
"Utsman bin Affan datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
dengan membawa 1000 dinar dalam kantong pakaiannya, ketika itu Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam tengah mempersiapkan pasukan dalam Jaisy
Al 'Usyrah, maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menerimanya dan
berkata, 'Tidak ada yang dapat membahayakan Ibnu 'Affan setelah hari ini (yaitu
jaminan surga atas Utsman radhiyallaahu 'anhu -pent)', beliau
mengulang-ulang perkataan ini" (Musnad Imam Ahmad 5/63)
Adapun Umar bin Khattab, beliau bershadaqah dengan separuh hartanya, dan beliau mengira itu bisa mengalahkan Abu Bakar, radhiyallahu 'anhuma. Al Faruq sendiri yang menceritakan, beliau berkata,
"Rasululllah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami pada
suatu hari untuk bershadaqah, dan waktu itu aku tengah memiliki sejumlah harta,
maka aku berkata, 'Kalau ada satu hari dimana aku bisa mengalahkan Abu Bakar,
inilah harinya". Maka aku datang dengan membawa separuh dari hartaku, maka
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Apa yang engkau
nafkahkan kepada keluargamu?', aku jawab, 'Sejumlah itu (karena beliau membagi
separuh hartanya -pent)'. Kemudian datang Abu Bakar radhiyallaahu 'anhu
membawa semua yang ia miliki, dan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam bertanya, 'Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?', Abu Bakar
menjawab, 'Aku tinggalkan untuk mereka, Allah dan Rasul-Nya'. Aku pun berkata,
'Tidak akan pernah aku mengalahkan Abu Bakar selama-lamanya'". (Sunan Abi Daud
2/312 dan 313, no. 1678)
DIriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf berinfaq dengan 2000 dirham, dan itu adalah separuh dari harta yang beliau miliki saat itu, untuk keperluan perang Tabuk (lihat As Sirah fi Dhau' Al Mashadir Al Ushuliyah hal. 616)
Juga diriwayatkan bahwa shahabat lainnya berinfaq dalam jumlah yang besar, seperti Al 'Abbas bin 'Abdul Muthalib, Thalhah bin 'Ubaidillah, Muhammad bin Maslamah, dan 'Ashim bin 'Adi radhiyallahu 'anhum (lihat Al Maghazi Al Waqidi 3/391)
Tidak ketinggalan, para shahabat yang berasal dari golongan fuqara', mereka juga menyumbangkan apa yang mereka miliki. Hal ini kemudian menjadi bahan sindiran dan ejekan kaum munafiqin. Alkisah, Abu 'Uqail datang dengan membawa setengah sha' kurma, kemudian kaum munafiqin datang dengan membawa infaq yang lebih banyak, dan berkata, "Sungguh Allah tidak butuh atas shadaqah sesedikit itu, tidaklah orang berinfaq sedemikian rupa melainkan hanya untuk riya'". Kemudian turun ayat :
"(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya" (QS. At Taubah : 79)
Maka setelah turun ayat tersebut, mereka ganti berkata, "Tidaklah (Abdurrahman) Ibn 'Auf bersedekah melainkan karena riya". Mereka pun mempermasalahkan shadaqah orang-orang kaya dengan sebutan riya', dan mengejek shadaqah orang-orang faqir.
Maka bersedihlah para fuqara' dari kalangan mukminin, karena mereka tidak memiliki harta yang dapat digunakan untuk berjihad. Adalah 'Ulbah bin Zaid, ia shalat malam dan menangis dalam shalatnya, beliau berkata, "Ya Allah sungguh Engkau telah perintahkan aku untuk berjihad, dan aku sangat ingin untuk itu, namun tidak Engkau jadikan di sisiku ini apa yang dapat membantuku dalam memperkuat kedudukan Rasul-Mu". Maka hal ini pun sampai kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, dan beliau mengabarkan bahwa 'Ulbah telah diampuni. (diriwayatkan dari jalur yang lemah, namun terdapat beberapa syahid yang shahih, lihat Al Mujtama' Al Madani lil 'Umari hal. 235)
Ada pula sebagian shahabat yang menyumbangkan tenaga. Kaum 'Asy'ariyun dipimpin oleh Abu Musa Al Asy'ari meminta kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, sejumlah unta dan kendaraan agar dapat turut serta dalam jihad. Namun tidak ada unta yang dapat dinaiki dan berselang beberapa waktu, akhirnya mereka memperoleh tiga ekor unta. (lihat Al Mujtama' Al Madani hal. 236)
Mengenai segolongan kaum mukminin yang lemah, sakit, dan tidak mampu berangkat jihad, Allah Ta'ala berfirman :
"Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu". lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (QS. At Taubah : 91-92)
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang kelompok yang tertahan dari jihad :
"Sungguh di Madinah terdapat kaum yang tidak ikut berperang, tidak ikut mendaki bukit, menuruni lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala -pent)." Maka para shahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, mereka ada di Madinah?". Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Mereka ada di Madinah, tertahan karena ada udzur" (HR Bukhari dalam Kitab Al Maghazi, no. 4423)
(sumber : Ghazwat Ar Rasul shallallaahu 'alaihi wa sallam Durus wa 'Ibar wa Fawaid, Ali Muhammad Ash Shalabi hal. 313-317)
Kaum Muslim Bergerak Ketabuk
?§Rasulullah terus menyiapkan perjalanan dan menentukan waktu pemberangkatan. Di sisi lain, beberapa orang dari para sahabat menang-guhkan niatnya untuk menyusul Rasulullah hingga mereka tertinggal dari beliau tanpa keragu-raguan di dalam hati dan bukan karena kemunafikan, mereka adalah Ka?¦ab bin Malik bin Abu Ka?¦ab saudara bani Salamah, Murarah bin Rabi?¦ saudara Bani amr bin Auf, Hilal bin Umaiyah saudara Bani Waqif, dan Abu Khaitsamah saudara Bani Salim bin Auf. Mereka semua adalah orang-orang jujur dan ke-Islaman mereka tidak diragukan. Ketika Rasulullah berangkat, beliau memasang tenda di Tsaniyyatul Wada?¦.?¨
?§Abdullah bin Ubai bin Salul memasang tendanya menyendiri di bawah Rasulullah menghadap ke Gunung Dzubab. Para ulama berkata bahwa Abdullah bin Ubai bin Salul dan teman-temannya itu banyak. Ketika Rasulullah meneruskan perjalanan, Abdullah bin Ubai bin Salul tidak ikut berangkat bersama orang-orang munafik dan orang-orang yang serba ragu?¨.
?§Rasulullah menunjuk Ali bin Abu Thalib RA untuk menjaga keluar-ga beliau dan menyuruhnya berada di tempat mereka. Hal ini disebarluas-kan orang-orang munafik. Mereka berkata, ?¥Nabi menunjuk Ali karena merasa berat menyuruhnya dan memberi keringanan kepadanya?¦. Ketika orang-orang berkata seperti itu, Ali bin Abu Thalib mengambil senjata, kemudian berangkat hingga berhasil menyusul Rasulullah yang ketika itu berhenti di Al-Jurf**. Ali bin Abu Thalib berkata, ?¥Wahai Nabi Allah, orang-orang munafik berkata bahwa engkau meninggalkanku di Madinah karena engkau merasa berat menyuruhku, dan memberi keringanan kepa-daku?¦. Rasulullah bersabda, ?¥Mereka bohong. Aku meninggalkanmu di Madinah untuk menjaga keluargaku, oleh karena itu, pulanglah dan jagalah keluargaku dan keluargamu. Hai Ali, apakah engkau tidak ridha kalau kedudukanmu terhadapku itu seperti kedudukan Nabi Harun terhadap Nabi Musa? Hanya saja, tidak ada nabi sepeninggalku?¦. Ali bin Abu Thalib pun pulang ke Madinah, sedang Rasulullah melanjutkan perjalanan?¨.
Kisah Abu Khaitsamah RA
§Abu Khaitsamah RA kembali kepada keluarganya di hari yang panas setelah Rasulullah berjalan berhari-hari. Setibanya di Madinah, ia mendapati kedua istrinya di gubuk keduanya di kebun kurma. Masing-masing dari kedua istrinya mengapur gubuknya, mendinginkan air di dalamnya, dan menyiapkan makanan. Ketika Abu Khaitsamah masuk ke dalam gubuk, ia berdiri di pintu gubuk kemudian melihat kedua istrinya dan apa yang keduanya perbuat. Ia berkata, ?¥Rasulullah sedang di bawah sinar matahari, angin, dan hawa panas, sedang Abu Khaitsamah berada di dalam naungan yang dingin, makanan yang telah siap disantap, dan dua istrinya yang cantik di kebunnya? Ini tidak adil?¦. Abu Khaitsamah berkata kepada kedua istrinya, ?¥Demi Allah, aku tidak akan masuk ke gubuk salah seorang dari kalian berdua, hingga aku berhasil menyusul Rasulullah, oleh karena itu, siapkan perbekalan untukku?¦. Kedua istri Abu Khaitsamah melaksanakan perintahnya. Abu Khaitsamah sendiri pergi ke untanya dan menyiapkannya, kemudian berangkat menyusul Rasulullah hingga bertemu beliau berhenti di Tabuk. Umair bin Wahb Al-Jumahi yang juga mengejar Rasulullah bertemu Abu Khaitsamah di jalan, kemudian keduanya berjalan berdua.
Ketika keduanya mendekati Tabuk, Abu Khaitsamah berkata kepada Umair bin Wahb, ?¥Sesungguhnya aku mempunyai dosa, oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau engkau di belakangku hingga aku terlebih dahulu tiba di tempat Rasulullah?¦. Umair bin Wahb mengabulkan ke-inginan Abu Khaitsamah. Ketika Abu Khaitsamah telah mendekati tem-pat Rasulullah yang ketika itu berhenti di Tabuk, orang-orang berkata, ?¥Musafir datang?¦. Rasulullah bersabda, ?¥Dialah Abu Khaitsamah?¥. Orang-orang berkata, ?¥Wahai Rasulullah, demi Allah, dia Abu Khaitsamah?¦. Setelah menghentikan untanya, Abu Khaitsamah berjalan dan mengucap-kan salam kepada Rasulullah. Rasulullah bersabda kepada Abu Khaitsa-mah, ?¥Kenapa engkau tidak berangkat dari awal, hai Abu Khaitsamah??¦. Abu Khaitsamah menyebutkan alasan kenapa ia tertinggal kepada Rasulullah dan beliau pun berkata baik kepadanya?¨.
Ujian Ketaatan Para Sahabat
§Ketika Rasulullah berjalan melewati Al-Hijr***, beliau berhenti di sana dan para sahabat mengambil air dari sumurnya. Ketika para sahabat datang dari sumur tersebut, Rasulullah bersabda, ?¥Janganlah kalian me-minum sedikit pun air sumur Al-Hijr, jangan berwudhu dengan airnya untuk shalat, tepung yang kalian buat berikan kepada unta dan kalian jangan memakannya meski cuma sedikit, dan salah seorang dari kalian pada malam ini jangan keluar kecuali berdua?¦. Para sahabat mentaati perintah Rasulullah tersebut, kecuali dua orang dari Bani Saidah. salah seorang dari keduanya keluar untuk buang hajat, sedang orang satunya keluar mencari untanya. Adapun orang yang keluar untuk buang hajat, ia tercekik di tempat buang hajat. Sedang orang satunya yang mencari unta-nya, ia terbawa angin hingga terlempar di dua Gunung Thayyi?¦. Kejadian tersebut dilaporkan kepada Rasulullah kemudian beliau bersabda, ?¥Bu-kankah aku telah melarang salah seorang dari kalian keluar kecuali berdua??¦ Rasulullah mendoakan orang yang tercekik di tempat buang hajat kemudian ia sembuh. Adapun orang satunya yang terlempar di dua Gunung Thayyi?¦, maka orang-orang Thayyi?¦ menghadiahkannya kepada Rasulullah ketika beliau tiba di Madinah.
?§Keesokan harinya, kaum muslimin kehabisan perbekalan air. Mereka mengeluhkan hal tersebut kepada Rasulullah SAW yang kemudian berdoa. Tidak lama setelah itu, Allah SWT mengirim awan kemudian menurunkan air hujan hingga kaum muslimin tidak kehausan lagi dan bisa membawa perbekalan air?¨.
Peristiwa Hilangnya Unta Rasulullah
?§Rasulullah melanjutkan perjalanan. Ketika beliau tiba di salah satu jalan, tiba-tiba unta beliau hilang. Oleh karena itu, orang-orang pun mencarinya. Ketika itu, di samping Rasulullah terdapat salah seorang dari sahabatnya bernama Umarah bin Hazm. Ia adalah sahabat yang ikut serta dalam Baitul Aqabah dan turut serta dalam peperangan Badar serta paman Bani Amr bin Hazm. Di rombongan Umarah bin Hazm terdapat orang munafik bernama Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai?¨.
?§Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai berkata di rombongan Umarah bin Hazm sedang Umarah bin Hazm berada di samping Rasulullah, ?¥Bukankah Muhammad mengaku sebagai nabi dan bisa menjelaskan peri-hal langit kepada kalian, kenapa ia tidak tahu di mana untanya berada??¦ Rasulullah bersabda dan ketika itu Umarah bin Hazm ada di samping beliau, ?¥Sesungguhnya seseorang berkata, ?¥Muhammad telah mengabar-kan kepada kalian bahwa ia seorang nabi dan mengaku bahwa ia bisa menjelaskan perkara langit kepada kalian, kenapa ia tidak tahu di mana untanya berada?¦. Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa kecuali yang diajar-kan Allah kepadaku. Sungguh Allah telah menunjukkan lokasi untaku kepadaku. Untaku tersebut sekarang berada di lembah ini di jalan ini dan itu. Tali kekang unta tersebut tertahan oleh salah satu pohon, oleh karena itu, pergilah kalian, hingga kalian bisa membawa unta tersebut kepada-ku?¦. Orang-orang pun pergi ke tempat yang dimaksud Rasulullah, kemu-dian datang lagi dengan membawa unta tersebut. Umarah bin Hazm kem-bali ke rombongannya sambil berkata,
?¥Demi Allah, sungguh hebat apa yang disabdakan Rasulullah kepada kami tadi, yaitu ucapan seseorang ini dan itu yang dijelaskan kepada beliau ?Vmaksudnya ucapan Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai?V. Salah seorang yang berada di rombongan Umarah bin Hazm yang tidak berada di samping Rasulullah berkata, ?¥Demi Allah, Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai berkata seperti itu tadi sebelum engkau datang ke mari?¦. Umarah bin Hazm mendekat Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai kemudian menusuk lehernya sambil berkata, ?¥Wahai hamba Allah, kemarilah. Tan-pa aku sadari dalam rombonganku terdapat petaka! Hai musuh Allah, keluarlah engkau dari rombonganku dan jangan lagi engkau menyertai-ku.?¨
?§Orang-orang berkata bahwa setelah itu Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai bertaubat. Sebagian lagi berkata bahwa Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai tetap tertuduh sebagai orang buruk hingga akhir hayatnya.?¨
Kisah Tentang Abu Dzar
Rasulullah, ?¥Wahai Rasulullah, yang tertinggal adalah Abu Dzar, karena untanya berjalan lamban??¦ Rasulullah bersabda, ?¥Biarkan dia. Jika pada dirinya terdapat kebaikan, Allah akan menyusulkannya kepada ka-lian. Jika tidak, Allah menyelamatkan kalian dari keburukannya?¨.
Abu Dzar mencela untanya karena berjalan lamban. Karena untanya tetap berjalan lamban, Abu Dzar mengambil perbekalannya, memikul-nya, kemudian berjalan kaki menelusuri jejak-jejak Rasulullah. Di sisi lain, Rasulullah berhenti di salah satu jalan, tiba-tiba salah seorang dari kaum muslimin melihat bayangan hitam kemudian ia berkata, ?¥Wahai Rasulullah, ada orang berjalan kaki sendirian?¦. Rasulullah berkata, ?¥Dia-lah Abu Dzar?¦. Ketika orang-orang melihatnya, mereka berkata, ?¥Wahai Rasulullah, demi Allah, betul ia Abu Dzar?¦. Rasulullah bersabda, ?¥Semo-ga Allah merahmati Abu Dzar, ia berjalan sendirian, mati sendirian dan dibangkitkan sendirian?¦.?¨
Abdullah bin Mas?¦ud berkata, ?§Ketika Utsman bin Affan menga-singkan Abu Dzar ke Ar-Rabadzah dan ia menemui takdirnya, ia hanya bersama dengan istri dan budaknya. Sebelum meninggal dunia, Abu Dzar berwasiat kepada keduanya, ?¥Mandikan dan kafanilah aku, kemudian letakkan jenazahku di tengah jalan. Jika ada rombongan yang pertama kali melewati kalian, katakan, ?¥Ini Abu Dzar, sahabat Rasulullah, oleh karena itu, bantulah kami untuk menguburnya?¦. Ketika Abu Dzar me-ninggal dunia, kedua orang tersebut melaksanakan wasiatnya. Keduanya meletakkan jenazah Abu Dzar di tengah jalan. Tidak lama setelah itu, Abdullah bin Mas?¦ud melewati jalan tersebut bersama beberapa orang dari Irak hendak berumrah. Mereka kaget melihat jenazah di tengah jalan dan jenazah tersebut nyaris diinjak unta, tiba-tiba seorang budak mende-kat kepada mereka dan berkata, ?¥Ini Abu Dzar, sahabat Rasulullah, oleh karena itu, bantulah kami untuk menguburnya. Abdullah bin Mas?¦ud menangis sambil berkata, ?¥Benarlah kata Rasulullah bahwa engkau (Abu Dzar) berjalan sendirian, mati sendirian dan dibangkitkan sendirian?¦. Usai berkata seperti itu, Abdullah bin Mas?¦ud dan teman-temannya turun dari hewan kendaraannya masing-masing dan mengubur jenazah Abu Dzar. Lalu Abdullah bin Mas?¦ud bercerita kepada teman-temannya ten-tang Abu Dzar dan apa yang disabdakan Rasulullah SAW kepadanya dalam perjalanan beliau ke Tabuk?¨.
Rasulullah Sampai Di Tabuk
Pasukan islam berdiri di Tabuk dan berkubu disana. Mereka siap bertempur melawan musuh. Rasulullah berdiri di hadapan pasukan dan menyampaikan pidato dengan penuh semangat, dan kata-kata yang kandungan maknanya amat luas. Menganjurkan kepada kebaikan dunia dan akhirat member peringatan dan ancaman, member kabar gembira dan kabar yang menyenangkan. Hingga mental prajurit-prajurit benar-benar siap dengan semangat yang membara. Sekalipun bekal dan perlengkapan mereka sangat minim.
Sebaliknya ketika pasukan Romawi dan sekutu-sekutunya sudah mendengar bahwa rasulullah menggalang pasukan, muncul ketakutan dan kekhawatiran yang merambat hati mereka. Sehingga mereka tidak berani maju atau merencanakan serangan. Mereka berpencar-pencar di batas wilayah mereka sendiri. Tentu saja hal ini mengangkat pamor militer islam di dalam jazirah arab dan sekaligus mendulang kepentingan politik yang amat besar manfaatnya.
Karena itu rasulullah didatangi Yuhannah bin Ru'bah pemimpin ilah menawarkan perjanjian damai dengan beliau dan siap menyerahkan jizyah kepada beliau. Begitu pula yang dilakukan penduduk Jarba' dan Adruj. Beliau menulis selembar perjanjian yang kemudian mereka pegang.
Untuk pemimpin Ailah, beliau menuliskan surat perjanjian sebagai berikut :
"bimillahir rahmanir rahim. Ini merupakan surat perjanjian keamanan dari allah dan Muhammad, nabi dan Rasul Allah, kepada Yuhannah bin Ru'bah dan penduduk Ailah. Perahu dan kendaraan-kendaraan mereka di daratan dan di lautan berhak mendapatkan jaminan perlindungan Allah dan Muhammad sang nabi, juga berlaku bagi siapapun yang bersamaannya dari penduduk Syam dan penduduk dipesisir pantai. Siapa pun diantara mereka yang melanggar perjanjian, maka hartanya tidak akan dapat melindungi dirinya, yang berarti siapa pun boleh menggambilnya. Mereka tidak boleh dirintangi untuk mengambil air biasa mereka ambil dan jalan mereka di darat maupun di laut tidak boeh diiringi.
Muhammad kembali dengan memimpin ribuan anggota Pasukan 'Usra ini dari perbatasan Syam ke Madinah, bukanlah soal yang ringan. Mereka itu kebanyakan tidak mengerti makna persetujuan yang telah diadakan dengan amir Aila dan negeri-negeri tetangganya, Juga mereka tidak menganggap begitu penting persetujuan-persetujuan yang telah dibuat oleh Muhammad guna menjamin keamanan di perbatasan seluruh jazirah itu serta dibangunnya benteng-benteng ditempat-tempat itu sebagai perbatasan dengan pihak Rumawi. Sebaliknya yang dapat mereka lihat hanyalah, bahwa mereka menempuh jalan yang sulit dan panjang ini, dengan mengalami gangguan-gangguan, kemudian kembali tanpa membawa rampasan, tanpa membawa tawanan perang, bahkan berperang juga tidak. Segala yang dapat mereka lakukan hanyalah tinggal di Tabuk selama hampir duapuluh hari.
Umar Bin Khotob Berkata "Aku mempunyai seorang sahabat dari kalangan
orang-orang Ansar. Sekiranya ku tidak dapat menghadiri majlis Rasulullah beliau
bertanggungjawab membuat perkhabaran dan menyampaikan beritanya, dan kalau beliau tidak
hadir aku pula melaporkan perkembangan semasa kepadanya. Mereka berdua ini tinggal
dibahagian atas di Madinah, mereka bergilir-gilir menghadiri majlis Rasulullah (s.a.w). Kami
semua curiga dengan salah seorang raja Ghassan. Telah dimaklumkan kepada kami bahawa
dia ini berhasrat untuk menyerang kami. Dada kami sentiasa berdebar-debar, tiba-tiba di
suatu hari saudaraku al-Ansar itu mengetuk pintu, dengan seruannya: Ayuh buka! Ayuh buka.
Terus ku bertanya, apakah orang-orang Ghassan menyerang? Jawab beliau; Tidak! tetapi lebih
parah lagi dari itu! Rasulullah telah mengasingkan diri dari isteri-isterinya"
Di dalam satu lafaz yang lain menyebut seperti berikut: "Sebelum ini kami sudah bercakap-cakap
di mana orang-orang Ghassan telahpun memakai kasut-kasut mereka sebagai persiapan
untuk menyerang kita, sahabat ku itu telah keluar dari rumahnya di hari gilirannya dan beliau
pulang di waktu Isya', sampai di hadapan rumahku beliau mengetuk pintu sekuat-kuatnya
sambil bertanya: apakah anda tidur ? Aku terkejut, dan terus keluar. Beliau berkata: Satu peristiwa
besar berlaku. Tanyaku, Apa dia? Apakah golongan Ghassan telah melanggar? Kata beliau:
Tidak! lanya lebih teruk dan lebih panjang lagi ceritanya. Rasulullah telah menceraikan semua
isterinya".
Cerita ini mengambarkan kedahsyatan suasana yang sedang dihadapi oleh umat Islam waktu itu
adapun informasi secara khusus datangnya dari kaum al-Anbat yang datang ke Madinah dari al-Syam kerana berdagang minyak.Mereka mencerikan bahawa pihak Herkules telah pun mempersiapkan satu angkatan bala tentera yang besar sejumlah empat puluh ribu orang askar/tentara . Pimpinan ketenteraan diserahkan kepada salah seorang pembesar Rom, tokoh ini telah bertugas mengerakkan qabilah Lakham,Jazam dan kelompok-kelompok lain yang menganut agama Nasara untuk turut bersama beliau.Berita kemaraan mereka sudah pun sampai ke daerah al-Balqa'. Beginilah lebih kurang malapetaka yang mengancam kaum muslimin.
Orang Munafik Membangun Masjid Dhiror
Di Madinah ada seorang pendeta Nasrani dari suku Khazraj bernama Abu Amir. Di kalangan Bani Khzaraj ia memiliki kedudukan penting. Ketika Rasulullah datang ke Madinah, dan masyarakat, termasuk Bani Khazraj, berbondong-bondong masuk Islam dan mengikuti beliau, Abu Amir mengambil sikap penentangan dan permusuhan. Ia kemudian pergi ke Mekkah meminta bantuan kaum musyrik Qurays untuk memerangi Rasulullah Saw.
Bukan hanya itu, setelah melihat makin meluasnya dakwah Islam, Abu Amir lantas pergi menemui Raja Romawi, Heraklius, meminta bantuan untuk menghadapi Rasulullah saw. Kepada Abu Amir, Heraklius menjanjikan apa yang diinginkannya. Kemudian ia tinggal di wilayah Heraklius. Nah, dari "tempat pengasingan" inilah, Abu Amir menulis surat kepada orang-orang munafik di Madinah yang menjanjikan kepada mereka apa yang dijanjikan oleh Heraklius kepada dirinya dan memerintahkan mereka agar membangun sebuah markas tempat mereka berkumpul untuk merealisasikan rencana jahat yang tertuang dalam suratnya tersebut.
Mereka kemudian membangun sebuah masjid di dekat Masjid Quba'. Masjid ini telah selesai mereka bangun sebelum Rasulullah Saw berangkat ke Tabuk. Kemudian mereka datang kepada Rasulullah, meminta agar beliau mau salat di tempat itu untuk dijadikan sebagai dalih dan bukti persetujuan. Kaum munafik itu beralasan masjid tersebut dibangun untuk orang-orang yang tidak dapat keluar di malam yang dingin. Tetapi, Allah Swt melindungi Rasulullah Saw dari melaksanakan salat di masjid tersebut. Atas permintaan itu Nabi Saw menjawab, "Kami sekarang mau berangkat. Insya Allah, nanti setelah pulang."
Sehari atau beberapa hari sebelum Rasulullah Saw tiba di Madinah dari perjalanan Perang Tabuk, Malaikat Jibril turun menyampaikan berita tentang masjid dhirar yang sengaja mereka bangun atas dasar kekafiran dan bertujuan memecah belah jamaah kaum Muslimin. Rasulullah kemudian mengutus beberapa sahabatnya untuk menghancurkan masjid tersebut sebelum beliau datang ke Madinah. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya).
Berkaitan dengan Masjid ini, turunlah firman Allah Swt, Surat At-Taubah ayat 107-108 yang membongkar hakikat masjid dhirar.
Rasulullah Memaklumatkan Perang
Az-Zuhri, Yazid bin Ruman, Abdullah bin Abu Bakr, Ashim bin Umar bin Qatadah, dan ulama-ulama kami lainnya, semuanya berkata kepadaku tentang Perang Tabuk seperti yang disampaikan kepadanya. Sebagian dari mereka menceritakan apa yang tidak diceritakan sebagian lainnya. Mereka berkata, ?§Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya bersiap-siap untuk menyerang Romawi. Itu terjadi ketika muslimin mengalami masa-masa sulit, cuaca sangat panas, musim kemarau, buah-buahan mulai ranum, orang-orang lebih menyukai berada di dekat buah-buah mereka dan tempat berteduh mereka, serta tidak suka berangkat dalam kondisi seperti itu. Rasulullah sendiri jarang keluar untuk perang kecuali merahasiakannya dan menjelaskan bahwa beliau menginginkan bukan daerah yang beliau tuju, kecuali Perang Tabuk dimana beliau menjelaskannya kepada kaum muslimin, karena perjalanannya sangat jauh, masa-masa yang sangat sulit, dan banyaknya musuh yang ingin beliau tuju. Rasulullah menjelaskan hal yang demikian agar manusia mengadakan persiapan. Betul kali ini, Rasulullah memerintahkan kaum muslimin bersiap-siap dan menjelaskan kepada mereka bahwa beliau hendak menyerang Romawi.
Pada suatu hari ketika tengah bersiap-siap, Rasulullah bersabda kepada Al-Jadd bin Qais, salah seorang dari Bani Salamah, ?¥Hai Al-Jadd, apakah pada tahun ini engkau ikut memerangi orang-orang berkulit kuning (Romawi)??¦ Al-Jadd bin Qais berkata, ?¥Wahai Rasulullah, berilah aku izin dan engkau jangan menjerumuskanku ke dalam fitnah. Demi Allah, kaumku telah mengenaliku bahwa tidak ada orang laki-laki yang cepat tertarik kepada wanita daripada aku. Oleh karena itu, aku khawatir jika aku melihat wanita-wanita berkulit kuning (Romawi), maka aku tidak sabar?¦. Rasulullah memalingkan muka dari Al-Jadd bin Qais dan bersabda, ?¥Aku mengizinkanmu?¦. Tentang Al-Jadd bin Qais ini, turunlah firman Allah SWT,
?¥Di antara mereka ada yang berkata, ?¥Berilah saya izin dan janganlah engkau menjerumuskanku ke dalam fitnah,?¥ ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah dan sesungguhnya Jahan-nam itu benar-benar meliputi orang-orang kafir?¦. (At-Taubah: 49)
Maksudnya, jika Al-Jadd bin Qais khawatir tergoda wanita-wanita Romawi, itu tidak akan terjadi padanya. Namun, fitnah yang ia telah jatuh ke dalamnya itu lebih besar, yaitu tidak ikut berangkat perang bersama Rasulullah dan lebih menyukai dirinya daripada diri beliau. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman, ?¥Sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang kafir?¦.
Orang Munafik Menghalang-halangi
Sebagian orang-orang munafik berkata kepada sebagian yang lain, ?¥Janganlah kalian berangkat pada musim panas seperti ini?¦. Mereka berkata seperti itu karena ingin mengecilkan arti jihad, membuat keragu-raguan tentang kebenaran, dan menggoyahkan Rasulullah. Kemudian Allah SWT menurunkan ayat tentang mereka,
?§Mereka berkata, ?¥Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) di panas terik ini?¦. Katakanlah, ?¥Api Neraka Jahannam itu lebih sangat panas, ?¥jikalau mereka mengetahui. Maka hendaklah mereka terta-wa sedikit dan menangis banyak sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan?¦.?¨ (At-Taubah: 81-82)
Pengorbanan Harta Para Sahabat
Ibnu Ishaq berkata:
?§Rasulullah tetap bersemangat untuk berangkat, memerintahkan manusia bersiap-siap dan menyingsingkan lengan baju, menghimbau orang-orang kaya agar mereka berinfak, dan menanggung biaya jihad di jalan Allah. Kemudian sejumlah sahabat-sahabat yang kaya menanggung biaya jihad karena mengharap pahala Allah. Utsman bin Affan RA berinfak dalam jumlah besar dimana tidak ada seorang pun yang berinfak sebesar itu?¨
? |
Dari Abdurrahman bin Samurah radhiyallaahu 'anhuma beliau berkata
Adapun Umar bin Khattab, beliau bershadaqah dengan separuh hartanya, dan beliau mengira itu bisa mengalahkan Abu Bakar, radhiyallahu 'anhuma. Al Faruq sendiri yang menceritakan, beliau berkata,
DIriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf berinfaq dengan 2000 dirham, dan itu adalah separuh dari harta yang beliau miliki saat itu, untuk keperluan perang Tabuk (lihat As Sirah fi Dhau' Al Mashadir Al Ushuliyah hal. 616)
Juga diriwayatkan bahwa shahabat lainnya berinfaq dalam jumlah yang besar, seperti Al 'Abbas bin 'Abdul Muthalib, Thalhah bin 'Ubaidillah, Muhammad bin Maslamah, dan 'Ashim bin 'Adi radhiyallahu 'anhum (lihat Al Maghazi Al Waqidi 3/391)
Tidak ketinggalan, para shahabat yang berasal dari golongan fuqara', mereka juga menyumbangkan apa yang mereka miliki. Hal ini kemudian menjadi bahan sindiran dan ejekan kaum munafiqin. Alkisah, Abu 'Uqail datang dengan membawa setengah sha' kurma, kemudian kaum munafiqin datang dengan membawa infaq yang lebih banyak, dan berkata, "Sungguh Allah tidak butuh atas shadaqah sesedikit itu, tidaklah orang berinfaq sedemikian rupa melainkan hanya untuk riya'". Kemudian turun ayat :
"(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya" (QS. At Taubah : 79)
Maka setelah turun ayat tersebut, mereka ganti berkata, "Tidaklah (Abdurrahman) Ibn 'Auf bersedekah melainkan karena riya". Mereka pun mempermasalahkan shadaqah orang-orang kaya dengan sebutan riya', dan mengejek shadaqah orang-orang faqir.
Maka bersedihlah para fuqara' dari kalangan mukminin, karena mereka tidak memiliki harta yang dapat digunakan untuk berjihad. Adalah 'Ulbah bin Zaid, ia shalat malam dan menangis dalam shalatnya, beliau berkata, "Ya Allah sungguh Engkau telah perintahkan aku untuk berjihad, dan aku sangat ingin untuk itu, namun tidak Engkau jadikan di sisiku ini apa yang dapat membantuku dalam memperkuat kedudukan Rasul-Mu". Maka hal ini pun sampai kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, dan beliau mengabarkan bahwa 'Ulbah telah diampuni. (diriwayatkan dari jalur yang lemah, namun terdapat beberapa syahid yang shahih, lihat Al Mujtama' Al Madani lil 'Umari hal. 235)
Ada pula sebagian shahabat yang menyumbangkan tenaga. Kaum 'Asy'ariyun dipimpin oleh Abu Musa Al Asy'ari meminta kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, sejumlah unta dan kendaraan agar dapat turut serta dalam jihad. Namun tidak ada unta yang dapat dinaiki dan berselang beberapa waktu, akhirnya mereka memperoleh tiga ekor unta. (lihat Al Mujtama' Al Madani hal. 236)
Mengenai segolongan kaum mukminin yang lemah, sakit, dan tidak mampu berangkat jihad, Allah Ta'ala berfirman :
"Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu". lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (QS. At Taubah : 91-92)
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang kelompok yang tertahan dari jihad :
"Sungguh di Madinah terdapat kaum yang tidak ikut berperang, tidak ikut mendaki bukit, menuruni lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala -pent)." Maka para shahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, mereka ada di Madinah?". Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Mereka ada di Madinah, tertahan karena ada udzur" (HR Bukhari dalam Kitab Al Maghazi, no. 4423)
(sumber : Ghazwat Ar Rasul shallallaahu 'alaihi wa sallam Durus wa 'Ibar wa Fawaid, Ali Muhammad Ash Shalabi hal. 313-317)
Kaum Muslim Bergerak Ketabuk
?§Rasulullah terus menyiapkan perjalanan dan menentukan waktu pemberangkatan. Di sisi lain, beberapa orang dari para sahabat menang-guhkan niatnya untuk menyusul Rasulullah hingga mereka tertinggal dari beliau tanpa keragu-raguan di dalam hati dan bukan karena kemunafikan, mereka adalah Ka?¦ab bin Malik bin Abu Ka?¦ab saudara bani Salamah, Murarah bin Rabi?¦ saudara Bani amr bin Auf, Hilal bin Umaiyah saudara Bani Waqif, dan Abu Khaitsamah saudara Bani Salim bin Auf. Mereka semua adalah orang-orang jujur dan ke-Islaman mereka tidak diragukan. Ketika Rasulullah berangkat, beliau memasang tenda di Tsaniyyatul Wada?¦.?¨
?§Abdullah bin Ubai bin Salul memasang tendanya menyendiri di bawah Rasulullah menghadap ke Gunung Dzubab. Para ulama berkata bahwa Abdullah bin Ubai bin Salul dan teman-temannya itu banyak. Ketika Rasulullah meneruskan perjalanan, Abdullah bin Ubai bin Salul tidak ikut berangkat bersama orang-orang munafik dan orang-orang yang serba ragu?¨.
?§Rasulullah menunjuk Ali bin Abu Thalib RA untuk menjaga keluar-ga beliau dan menyuruhnya berada di tempat mereka. Hal ini disebarluas-kan orang-orang munafik. Mereka berkata, ?¥Nabi menunjuk Ali karena merasa berat menyuruhnya dan memberi keringanan kepadanya?¦. Ketika orang-orang berkata seperti itu, Ali bin Abu Thalib mengambil senjata, kemudian berangkat hingga berhasil menyusul Rasulullah yang ketika itu berhenti di Al-Jurf**. Ali bin Abu Thalib berkata, ?¥Wahai Nabi Allah, orang-orang munafik berkata bahwa engkau meninggalkanku di Madinah karena engkau merasa berat menyuruhku, dan memberi keringanan kepa-daku?¦. Rasulullah bersabda, ?¥Mereka bohong. Aku meninggalkanmu di Madinah untuk menjaga keluargaku, oleh karena itu, pulanglah dan jagalah keluargaku dan keluargamu. Hai Ali, apakah engkau tidak ridha kalau kedudukanmu terhadapku itu seperti kedudukan Nabi Harun terhadap Nabi Musa? Hanya saja, tidak ada nabi sepeninggalku?¦. Ali bin Abu Thalib pun pulang ke Madinah, sedang Rasulullah melanjutkan perjalanan?¨.
Kisah Abu Khaitsamah RA
§Abu Khaitsamah RA kembali kepada keluarganya di hari yang panas setelah Rasulullah berjalan berhari-hari. Setibanya di Madinah, ia mendapati kedua istrinya di gubuk keduanya di kebun kurma. Masing-masing dari kedua istrinya mengapur gubuknya, mendinginkan air di dalamnya, dan menyiapkan makanan. Ketika Abu Khaitsamah masuk ke dalam gubuk, ia berdiri di pintu gubuk kemudian melihat kedua istrinya dan apa yang keduanya perbuat. Ia berkata, ?¥Rasulullah sedang di bawah sinar matahari, angin, dan hawa panas, sedang Abu Khaitsamah berada di dalam naungan yang dingin, makanan yang telah siap disantap, dan dua istrinya yang cantik di kebunnya? Ini tidak adil?¦. Abu Khaitsamah berkata kepada kedua istrinya, ?¥Demi Allah, aku tidak akan masuk ke gubuk salah seorang dari kalian berdua, hingga aku berhasil menyusul Rasulullah, oleh karena itu, siapkan perbekalan untukku?¦. Kedua istri Abu Khaitsamah melaksanakan perintahnya. Abu Khaitsamah sendiri pergi ke untanya dan menyiapkannya, kemudian berangkat menyusul Rasulullah hingga bertemu beliau berhenti di Tabuk. Umair bin Wahb Al-Jumahi yang juga mengejar Rasulullah bertemu Abu Khaitsamah di jalan, kemudian keduanya berjalan berdua.
Ketika keduanya mendekati Tabuk, Abu Khaitsamah berkata kepada Umair bin Wahb, ?¥Sesungguhnya aku mempunyai dosa, oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau engkau di belakangku hingga aku terlebih dahulu tiba di tempat Rasulullah?¦. Umair bin Wahb mengabulkan ke-inginan Abu Khaitsamah. Ketika Abu Khaitsamah telah mendekati tem-pat Rasulullah yang ketika itu berhenti di Tabuk, orang-orang berkata, ?¥Musafir datang?¦. Rasulullah bersabda, ?¥Dialah Abu Khaitsamah?¥. Orang-orang berkata, ?¥Wahai Rasulullah, demi Allah, dia Abu Khaitsamah?¦. Setelah menghentikan untanya, Abu Khaitsamah berjalan dan mengucap-kan salam kepada Rasulullah. Rasulullah bersabda kepada Abu Khaitsa-mah, ?¥Kenapa engkau tidak berangkat dari awal, hai Abu Khaitsamah??¦. Abu Khaitsamah menyebutkan alasan kenapa ia tertinggal kepada Rasulullah dan beliau pun berkata baik kepadanya?¨.
Ujian Ketaatan Para Sahabat
§Ketika Rasulullah berjalan melewati Al-Hijr***, beliau berhenti di sana dan para sahabat mengambil air dari sumurnya. Ketika para sahabat datang dari sumur tersebut, Rasulullah bersabda, ?¥Janganlah kalian me-minum sedikit pun air sumur Al-Hijr, jangan berwudhu dengan airnya untuk shalat, tepung yang kalian buat berikan kepada unta dan kalian jangan memakannya meski cuma sedikit, dan salah seorang dari kalian pada malam ini jangan keluar kecuali berdua?¦. Para sahabat mentaati perintah Rasulullah tersebut, kecuali dua orang dari Bani Saidah. salah seorang dari keduanya keluar untuk buang hajat, sedang orang satunya keluar mencari untanya. Adapun orang yang keluar untuk buang hajat, ia tercekik di tempat buang hajat. Sedang orang satunya yang mencari unta-nya, ia terbawa angin hingga terlempar di dua Gunung Thayyi?¦. Kejadian tersebut dilaporkan kepada Rasulullah kemudian beliau bersabda, ?¥Bu-kankah aku telah melarang salah seorang dari kalian keluar kecuali berdua??¦ Rasulullah mendoakan orang yang tercekik di tempat buang hajat kemudian ia sembuh. Adapun orang satunya yang terlempar di dua Gunung Thayyi?¦, maka orang-orang Thayyi?¦ menghadiahkannya kepada Rasulullah ketika beliau tiba di Madinah.
?§Keesokan harinya, kaum muslimin kehabisan perbekalan air. Mereka mengeluhkan hal tersebut kepada Rasulullah SAW yang kemudian berdoa. Tidak lama setelah itu, Allah SWT mengirim awan kemudian menurunkan air hujan hingga kaum muslimin tidak kehausan lagi dan bisa membawa perbekalan air?¨.
Peristiwa Hilangnya Unta Rasulullah
?§Rasulullah melanjutkan perjalanan. Ketika beliau tiba di salah satu jalan, tiba-tiba unta beliau hilang. Oleh karena itu, orang-orang pun mencarinya. Ketika itu, di samping Rasulullah terdapat salah seorang dari sahabatnya bernama Umarah bin Hazm. Ia adalah sahabat yang ikut serta dalam Baitul Aqabah dan turut serta dalam peperangan Badar serta paman Bani Amr bin Hazm. Di rombongan Umarah bin Hazm terdapat orang munafik bernama Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai?¨.
?§Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai berkata di rombongan Umarah bin Hazm sedang Umarah bin Hazm berada di samping Rasulullah, ?¥Bukankah Muhammad mengaku sebagai nabi dan bisa menjelaskan peri-hal langit kepada kalian, kenapa ia tidak tahu di mana untanya berada??¦ Rasulullah bersabda dan ketika itu Umarah bin Hazm ada di samping beliau, ?¥Sesungguhnya seseorang berkata, ?¥Muhammad telah mengabar-kan kepada kalian bahwa ia seorang nabi dan mengaku bahwa ia bisa menjelaskan perkara langit kepada kalian, kenapa ia tidak tahu di mana untanya berada?¦. Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa kecuali yang diajar-kan Allah kepadaku. Sungguh Allah telah menunjukkan lokasi untaku kepadaku. Untaku tersebut sekarang berada di lembah ini di jalan ini dan itu. Tali kekang unta tersebut tertahan oleh salah satu pohon, oleh karena itu, pergilah kalian, hingga kalian bisa membawa unta tersebut kepada-ku?¦. Orang-orang pun pergi ke tempat yang dimaksud Rasulullah, kemu-dian datang lagi dengan membawa unta tersebut. Umarah bin Hazm kem-bali ke rombongannya sambil berkata,
?¥Demi Allah, sungguh hebat apa yang disabdakan Rasulullah kepada kami tadi, yaitu ucapan seseorang ini dan itu yang dijelaskan kepada beliau ?Vmaksudnya ucapan Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai?V. Salah seorang yang berada di rombongan Umarah bin Hazm yang tidak berada di samping Rasulullah berkata, ?¥Demi Allah, Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai berkata seperti itu tadi sebelum engkau datang ke mari?¦. Umarah bin Hazm mendekat Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai kemudian menusuk lehernya sambil berkata, ?¥Wahai hamba Allah, kemarilah. Tan-pa aku sadari dalam rombonganku terdapat petaka! Hai musuh Allah, keluarlah engkau dari rombonganku dan jangan lagi engkau menyertai-ku.?¨
?§Orang-orang berkata bahwa setelah itu Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai bertaubat. Sebagian lagi berkata bahwa Zaid bin Al-Lushait Al-Qainuqai tetap tertuduh sebagai orang buruk hingga akhir hayatnya.?¨
Kisah Tentang Abu Dzar
Rasulullah, ?¥Wahai Rasulullah, yang tertinggal adalah Abu Dzar, karena untanya berjalan lamban??¦ Rasulullah bersabda, ?¥Biarkan dia. Jika pada dirinya terdapat kebaikan, Allah akan menyusulkannya kepada ka-lian. Jika tidak, Allah menyelamatkan kalian dari keburukannya?¨.
Abu Dzar mencela untanya karena berjalan lamban. Karena untanya tetap berjalan lamban, Abu Dzar mengambil perbekalannya, memikul-nya, kemudian berjalan kaki menelusuri jejak-jejak Rasulullah. Di sisi lain, Rasulullah berhenti di salah satu jalan, tiba-tiba salah seorang dari kaum muslimin melihat bayangan hitam kemudian ia berkata, ?¥Wahai Rasulullah, ada orang berjalan kaki sendirian?¦. Rasulullah berkata, ?¥Dia-lah Abu Dzar?¦. Ketika orang-orang melihatnya, mereka berkata, ?¥Wahai Rasulullah, demi Allah, betul ia Abu Dzar?¦. Rasulullah bersabda, ?¥Semo-ga Allah merahmati Abu Dzar, ia berjalan sendirian, mati sendirian dan dibangkitkan sendirian?¦.?¨
Abdullah bin Mas?¦ud berkata, ?§Ketika Utsman bin Affan menga-singkan Abu Dzar ke Ar-Rabadzah dan ia menemui takdirnya, ia hanya bersama dengan istri dan budaknya. Sebelum meninggal dunia, Abu Dzar berwasiat kepada keduanya, ?¥Mandikan dan kafanilah aku, kemudian letakkan jenazahku di tengah jalan. Jika ada rombongan yang pertama kali melewati kalian, katakan, ?¥Ini Abu Dzar, sahabat Rasulullah, oleh karena itu, bantulah kami untuk menguburnya?¦. Ketika Abu Dzar me-ninggal dunia, kedua orang tersebut melaksanakan wasiatnya. Keduanya meletakkan jenazah Abu Dzar di tengah jalan. Tidak lama setelah itu, Abdullah bin Mas?¦ud melewati jalan tersebut bersama beberapa orang dari Irak hendak berumrah. Mereka kaget melihat jenazah di tengah jalan dan jenazah tersebut nyaris diinjak unta, tiba-tiba seorang budak mende-kat kepada mereka dan berkata, ?¥Ini Abu Dzar, sahabat Rasulullah, oleh karena itu, bantulah kami untuk menguburnya. Abdullah bin Mas?¦ud menangis sambil berkata, ?¥Benarlah kata Rasulullah bahwa engkau (Abu Dzar) berjalan sendirian, mati sendirian dan dibangkitkan sendirian?¦. Usai berkata seperti itu, Abdullah bin Mas?¦ud dan teman-temannya turun dari hewan kendaraannya masing-masing dan mengubur jenazah Abu Dzar. Lalu Abdullah bin Mas?¦ud bercerita kepada teman-temannya ten-tang Abu Dzar dan apa yang disabdakan Rasulullah SAW kepadanya dalam perjalanan beliau ke Tabuk?¨.
Rasulullah Sampai Di Tabuk
Pasukan islam berdiri di Tabuk dan berkubu disana. Mereka siap bertempur melawan musuh. Rasulullah berdiri di hadapan pasukan dan menyampaikan pidato dengan penuh semangat, dan kata-kata yang kandungan maknanya amat luas. Menganjurkan kepada kebaikan dunia dan akhirat member peringatan dan ancaman, member kabar gembira dan kabar yang menyenangkan. Hingga mental prajurit-prajurit benar-benar siap dengan semangat yang membara. Sekalipun bekal dan perlengkapan mereka sangat minim.
Sebaliknya ketika pasukan Romawi dan sekutu-sekutunya sudah mendengar bahwa rasulullah menggalang pasukan, muncul ketakutan dan kekhawatiran yang merambat hati mereka. Sehingga mereka tidak berani maju atau merencanakan serangan. Mereka berpencar-pencar di batas wilayah mereka sendiri. Tentu saja hal ini mengangkat pamor militer islam di dalam jazirah arab dan sekaligus mendulang kepentingan politik yang amat besar manfaatnya.
Karena itu rasulullah didatangi Yuhannah bin Ru'bah pemimpin ilah menawarkan perjanjian damai dengan beliau dan siap menyerahkan jizyah kepada beliau. Begitu pula yang dilakukan penduduk Jarba' dan Adruj. Beliau menulis selembar perjanjian yang kemudian mereka pegang.
Untuk pemimpin Ailah, beliau menuliskan surat perjanjian sebagai berikut :
"bimillahir rahmanir rahim. Ini merupakan surat perjanjian keamanan dari allah dan Muhammad, nabi dan Rasul Allah, kepada Yuhannah bin Ru'bah dan penduduk Ailah. Perahu dan kendaraan-kendaraan mereka di daratan dan di lautan berhak mendapatkan jaminan perlindungan Allah dan Muhammad sang nabi, juga berlaku bagi siapapun yang bersamaannya dari penduduk Syam dan penduduk dipesisir pantai. Siapa pun diantara mereka yang melanggar perjanjian, maka hartanya tidak akan dapat melindungi dirinya, yang berarti siapa pun boleh menggambilnya. Mereka tidak boleh dirintangi untuk mengambil air biasa mereka ambil dan jalan mereka di darat maupun di laut tidak boeh diiringi.
Muhammad kembali dengan memimpin ribuan anggota Pasukan 'Usra ini dari perbatasan Syam ke Madinah, bukanlah soal yang ringan. Mereka itu kebanyakan tidak mengerti makna persetujuan yang telah diadakan dengan amir Aila dan negeri-negeri tetangganya, Juga mereka tidak menganggap begitu penting persetujuan-persetujuan yang telah dibuat oleh Muhammad guna menjamin keamanan di perbatasan seluruh jazirah itu serta dibangunnya benteng-benteng ditempat-tempat itu sebagai perbatasan dengan pihak Rumawi. Sebaliknya yang dapat mereka lihat hanyalah, bahwa mereka menempuh jalan yang sulit dan panjang ini, dengan mengalami gangguan-gangguan, kemudian kembali tanpa membawa rampasan, tanpa membawa tawanan perang, bahkan berperang juga tidak. Segala yang dapat mereka lakukan hanyalah tinggal di Tabuk selama hampir duapuluh hari.
Setelah pasukan islam meninggalkan tabuk dengan membawa
kemenangan, tanpa mengalami tekanan sedikit pun. Dengan perjalanan ini Allah
telah mencukupkan peperangan bagi orang-orang muslim. Keberangkatan beliau ke
Tabuk pada bulan rajab dan pulang dari sana pada bulan ramadhan. Peperangan ini
memakan waktu selama lima puluh hari. Beliau berada di Tabuk selama dua puluh
hari, sedangkan sisanya dihabiskan diperjalanan pulang pagi. Ini merupakan
peperangan beliau yang terakhir kali.
Kisah Kaab Bin Malik & Orang Yang Tidak Ikut Berperang
Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke perang Tabuk untuk menghadapi orang-orang Romawi dan orang-orang Nashrani Arab di Syam."
Ibnu Syihab melanjutkan, Abdurrahman bin Abdullah bin Ka'ab bin Malik mengabarkan kepadaku, bahwa Abdullah bin Ka'ab adalah salah satu putra Ka'ab yang menuntunnya ketika ia mengalami kebutaan di masa tua, ia mengatakan, "Aku pernah mendengar Ka'ab bin Malik Radhiyallahu Anhu memberitahukan hadits yang diriwayatkan ketika ia tidak ikut serta bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang tabuk." Ka'ab bin Malik bercerita, "Aku tidak pernah sama sekali tertinggal untuk menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang yang beliau pimpin kecuali perang Tabuk. Namun aku juga pernah tidak ikut serta dalam perang Badar, akan tetapi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mencela seorang muslim yang tidak turut dalam perang Badar. Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin (dalam perang Badar) tujuan awalnya hanyalah ingin menyerang rombongan kafilah dagang beberapa orang dari Quraisy, sehingga Allah mempertemukan kaum muslimin dengan musuh mereka tanpa waktu ya ngtelah disepakati sebelumnya. Saat itu aku turut bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada malam perjanjian Aqabah ketika kami berjanji membela Islam. Bagiku, turut serta dalam perang Badar tidak sebanding dengan turut dalam malam perjanjian Aqabah, meskipun perang Badar lebih populer bagi kebanyakan orang. Di antara kisah ketika aku tidak turut bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang Tabuk adalah sebagai berikut,
"Aku benar-benar tidak berdaya dan tidak ada orang yang lebih banyak mempunyai keluasan daripada aku ketika tidak turut dalam perang Tabuk tersebut. Demi Allah, sebelumnya aku tidak pernah sama sekali menyiapkan dua ekor hewan tunggangan di pelbagai peperangan, namun pada perang Tabuk tersebut aku menyiapkan dua ekor hewan tunggangan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke lokasi perang Tabuk pada cuaca yang sangat panas, beliau menempuh perjalanan yang sangat jauh dan penuh resiko serta menghadapi musuh dalam jumlah besar. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan kepada kaum muslimin apa yang akan mereka hadapi bersama beliau. Oleh karena itu, beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mempersiapkan perbekalan perang yang cukup. Pada saat itu, kaum muslimin yang menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam banyak sekali tanpa ditunjuk melalui surat tugas untuk berperang."
Ka'ab melanjutkan, "Ada seorang laki-laki yang tidak muncul karena tidak ingin turut berperang. Dia mendunga bahwa tindakannya yang tidak ikut serta tersebut tidak akan diketahui oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah Azza wa Jalla mengenai dirinya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke perang Tabuk ketika hasil panen buah sangat memuaskan, sehingga aku memalingkan perhatian kepada hasil panen. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin yang menyertai beliau sudah bersiap-siap, dan aku pun segera pergi mencari perbekalan bersama mereka, namun aku pulang tanpa memperoleh perbekalan sama sekali. Aku berkata dalam hati, "Aku sebenarnya bisa memperoleh perbekalan jika aku mau, aku selalu dalam teka-teki antara ya dan tidak sedangkan yang lainnya semakin siap."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat bersama pasukan kaum muslimin, sementara aku belum mempersiapkan perbekalan sama sekali, lalu aku pergi kemudian pulang tanpa mempersiapkan sesuatu. Aku senantiasa dalam kebimbangan seperti itu antara turut berperang atau tidak, sehingga pasukan kaum muslimin sudah bergegas dan perang pun telah berkecamuk. Lalu aku ingin menyusul mereka ke medan perang -duhai kiranya aku benar-benar melakukannya- dan akhirnya aku ditakdirkan untuk tidak ikut serta dalam medan tempur. Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pergi ke perang Tabuk, maka mulailah rasa sedih menyelimuti diriku. Pada saat keluar ke tengah-tengah masyarakat sekitar, aku menyadari bahwa tidak ada yang dapat aku temui selain orang-orang dicap bergelimang dalam kemunafikan atau aku termasuk orang yang lemah yang diberi udzur oleh Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengingat diriku hingga beliau sampai di Tabuk. Ketika beliau sedang duduk di tengah para shahabat di Tabuk, beliau bertanya, "Mengapa Ka'ab bin Malik tidak turut berperang?" Seorang laki-laki dari Bani Salimah menjawab, "Wahai Rasulullah, Ka'ab bin Malik disibukkan oleh pakaiannya dan lebih mementingkan urusan pribadinya dari pada perjuangan ini." Mendengar ucapan shahabat itu Mu'adz bin Jabal berkata, "Ucapanmu ini sungguh jelek wahai shahabat, demi Allah, wahai Rasulullah, kami tahu bahwa Ka'ab bin Malik adalah orang yang baik." Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diam. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terdiam seperti itu tiba-tiba beliau melihat seorang laki-laki yang memakai pakaian putih dan hitam yang bergerak-gerak, kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Kamu pasti Abu Khaitsamah." Ternyata dia memang Abu Khaitsamah Al-Anshari, seorang shahabat yang pernah menyedekahkan satu sha' kurma ketika ia dicaci maki oleh orang-orang munafik.
Ka'ab bin Malik melanjutkan ceritanya, "Ketika aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersiap-siap kembali dari Tabuk, aku diliputi kesedihan, lalu aku mulai menggagas alasan untuk berdusta, aku berkata dalam hatiku, "Alasan apa yang besok bisa menyelamatkanku dari amarah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?" Untuk menghadapi itu aku berniat untuk meminta bantuan kepada keluargaku yang bisa memberi jalan keluar. Ketika ada seseorang memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah hampir tiba di kota Madinah, maka semua keinginan untuk berdusta telah hilang dari benakku. Akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah dapat berbohong sedikitpun kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, oleh karena itu aku harus berkata jujur kepada beliau.
Akhirnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai di Madinah pada pagi hari. Seperti biasa, beliau langsung menuju masjid sebagaimana kebiasaan beliau setiap kali tiba dari bepergian ke suatu daerah. Lalu beliau melaksanakan shalat sunnah dua raka'at, setelah itu beliau duduk bercengkerama bersama para shahabat. Beberapa saat kemudian, beliau didatangi oleh orang-orang yang tidak turut berperang. Mereka segera menyampaikan alasan kepada beliau dengan bersumpah. Diperkirakan mereka yang tidak ikut bertempur itu berjumlah 80 orang lebih. Ternyata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima alasan mereka yang tidak ikut berperang, membai'at mereka, memohonkan ampunan untuk mereka dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka kepada Allah Ta'ala. Tak setelah itu, aku pun datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setelah mengucapkan salam, beliau tersenyum seperti senyuman orang yang marah, kemudian beliau mengatakan, "Kemarilah!" Lalu aku berjalan mendekat, sehingga aku duduk tepat di hadapan beliau. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya, "Mengapa kamu tidak turut berperang? Tidakkah kamu telah berjanji untuk menyerahkan jiwa ragamu demi Islam?" Aku menjawab, "Ya Rasulullah, demi Allah, seandainya aku duduk di sisi orang selain engkau, aku yakin bahwa aku terbebaskan dari kemurkaannya dengan alasan dan argumentasi yang aku sampaikan. Tetapi, demi Allah, aku tahu bahwa jika sekarang ini aku menyampaikan kepadamu alasan yang dusta agar membuatmu tidak memarahiku, tentu dengan cepat Allah yang membuatmu marah kepadaku. Jika aku berkata benar dan jujur kepadamu yang dengan kejujuran itu engkau akan memarahiku, maka aku pun menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberiku hukuman dengan ucapanku yang jujur itu. Demi Allah, sungguh tidak ada udzur yang membuatku tidak turut berperang. Demi Allah, aku tidak pernah berdaya sama sekali ketika itu meskipun punya waktu yang sangat longgar sekali, namun aku tidak turut berperang bersamamu." Mendengar pengakuan tulsu itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Orang ini telah berkata jujur, berdirilah sampai Allah memberikan keputusan tentangmu." Akhirnya aku pun berdiri dan beranjak dari sisi beliau. Lalu beberapa orang Bani Salimah beramai-ramai mengikutiku. Mereka berkata kepadaku, "Demi Allah, kami tidak pernah mengetahui kamu berbuat dosa sebelum ini, Kamu benar-benar tidak mampu engkau mengemukakan alasan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana alasan yang disampaikan oleh orang-orang yang tidak turut berperang itu, sungguh istighfar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untukmu yang akan menghapus dosamu."
Ka'ab bin Malik berkata, "Demi Allah, mereka tidak berhenti mencercaku sampai-sampai aku ingin kembali lagi kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu aku dustakan diriku." Selanjutnya aku bertanya kepada mereka, "Apakah ada orang lain yang menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti aku?" Mereka menjawab, "Ya, ada dua orang lain seperti dirimu. Kedua orang itu mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti apa yang kamu katakan, dan dijawab oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti apa yang jawaban beliau kepadamu." Aku bertanya, "Siapa dua orang itu?" Mereka menjawab, "Murarah bin Rabi'ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifi. " Mereka menyebutkan dua orang shalih yang pernah ikut serta dalam perang Badar, dan mereka bisa menjadi teladan. Aku pun berlalu ketika mereka menyebutkan dua orang tersebut kepadaku.
Tak dinayana, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga yang tidak turut dalam perang Tabuk. Kaum muslimin manjauhi kami dan berubah sikap kepada kami bertiga sehingga bumi ini terasa asing bagi kami. Sepertinya bumi ini bukan bumi yang kami kenal sebelumnya, itu berlangsung selama 50 malam. Dua orang temanku yang tidak turut dalam perang Tabuk itu duduk bersedih di rumah mereka sambil terus menangis, sedangkan aku masih muda tetap tegar. Aku tetap beraktifitas seperti sedia kala, aku tetap berani keluar dari rumah, menghadiri shalat berjama'ah dan berjalan-jalan di pasar meskipun tak seorang pun yang mau berbicara denganku. Hingga suatu ketika aku menghampiri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu aku ucapkan salam kepada beliau ketika beliau berada di tempat duduknya seusai shalat. Aku bertanya-tanya dalam hati, "Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak?" Kemudian aku shalat di dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan mencuri pandang kepada beliau. Ketika aku sudah bersiap hendak shalat, beliau memandangku dan ketika aku menoleh kepada beliau, beliau mengalihkan pandangannya dariku.
Setelah terisolir dari pergaulan kaum muslimin, aku berjalan-jalan sehingga sampai di pagar kebun Abu Qatadah, dia adalah sepupuku dan dia merupakan orang yang paling aku senangi. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, dia tidak menjawab salamku. Lalu aku tanyakan kepadanya, "Hai Abu Qatadah, aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu mengetahui bahwa aku sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya?" Ternyata Abu Qatadah diam saja. Lalu aku ulangi lagi dengan bersumpah seperti itu, tetapi dia tetap diam. Kemudian aku ulangi sekali lagi, lalu dia menjawab, "Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui hal itu." Mendengar ucapannya itu, berlinanglah air mataku dan aku pun kembali ke rumah sambil menyusuri pagar kebun tersebut.
Pada hari lain, ketika aku berjalan di pasar Madinah, ada seorang dari negeri Syam yang berjualan makanan di kota Madinah bertanya, "Siapakah yang sudi menunjukkan di mana Ka'ab bin Malik?' Maka orang-orang pun menunjukkannya kepadaku. Lalu dia datang kepadaku sambil menyerahkan sepucuk surat untukku dari raja Ghassan. Karena saya bisa menulis dan membaca, maka aku bisa memahami surat itu, ternyata isinya sebagai berikut,
"Kami mendengar bahwa temanmu (yakni Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) mengucilkanmu dari pergaulan umum, sedangkan Allah tidak menyia-nyiakanmu, karena itu bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu."
Selesai membaca surat itu aku pun berkata, "Surat ini juga merupakan bencana bagiku." Lalu aku memasukkannya ke pembakaran dan membakarnya hingga musnah." Setelah berlalu 40 hari dari 50 hari masa pengucilanku dan wahyu pun tidak turun, tiba-tiba utusan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendatangiku untuk menyampaikan pesan, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar kamu menjauhi istrimu." Aku bertanya, "Aku harus menceraikannya atau bagaimana?" Dia menjawab, "Tidak, tapi jauhi dia dan janganlah kamu mendekatinya." Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengutus orang kepada dua orang temanku yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk dengan pesan seperti yang disampaikan kepadaku. Aku katakan kepada isteriku, "Pulanglah ke keluargamu dan tinggallah bersama mereka sampai Allah memberi keputusan dalam masalah ini."
Setelah itu, istri Hilal bin Umayyah mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu dia berkata, "Wahai Rasulullah, Hilal bin Umayyah sudah tua, lemah dan tidak memiliki pembantu, apa engkau juga tidak suka kalau aku yang merawatnya?" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, "Tidak, dengan syarat jangan sampai dia mendekatimu." Perempuan itu berkata lagi, "Demi Allah, dia sudah tidak berhasrat sama sekali, dan demi Allah dia tidak putus menangis semenjak dia mendapatkan ujian tersebut sampai hari ini."
Ka'ab bin Malik berkata, "Salah seorang keluargaku memberi saran, "Sebaiknya kamu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam persoalan istrimu; sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi izin kepada istri Hilal bin Umayyah untuk merawat suaminya." Aku berkata, "Aku tidak akan meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam perihal istriku, aku tidak tahu bagaimana jawaban Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika aku minta izin kepada beliau tentang istriku; karena aku masih muda." Hal itu berlangsung sepuluh malam, sehingga genaplah 50 malam bagi kami, terhitung sejak kaum muslimin dilarang berbicara dengan kami. Kemudian aku melakukan shalat subuh pada pagi hari setelah melewati malam yang ke-50 di bagian belakang rumahku. Ketika aku sedang duduk dalam keadaan seperti yang Allah sebutkan tentang kami, yaitu diriku diliputi kesedihan yang sangat serta bumi yang luas ini terasa sempit bagiku. Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak dengan suara keras yang menembus cakrawala, "Wahai Ka'ab bin Malik, bergembiralah!" Lalu aku sujud dan aku tahu bahwa aku telah bebas dari persoalan ini.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumumkan kepada kaum muslimin seusai shalat shubuh, bahwa Allah telah menerima taubat kami. Orang-orang pun segera memberitahu kami dan mendatangi dua orang temanku untuk memberitahu mereka berdua. Orang-orang dari Bani Aslam datang kepadaku dengan berkuda dan berjalan kaki menyusuri gunung, dan suara mereka lebih cepat daripada suara kuda mereka. Ketika orang yang telah aku dengar suaranya memberi kabar gembira datang, maka aku melepaskan pakaian luarku, lalu aku pakaikan kepadanya sebagai balasan kabar gembiranya kepadaku. Demi Allah, pada saat itu yang aku milikinya hanyalah dua pakaian tersebut. Kemudian aku meminjam dua pakaian, lalu aku pakai. Setelah itu aku menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sementara orang-orang berduyun-duyun menemuiku untuk mengucapkan selamat atas terkabulnya taubatku. Lalu aku masuk ke mesjid. Ketika itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam duduk di tengah orang banyak. Thalhah bin Ubaidullah berdiri dan berjalan cepat mendekatiku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada orang-orang muhajirin yang berdiri selain Thalhah.
Periwayat hadits mengatakan "Ka'ab tidak pernah melupakan penyambutan Thalhah tersebut."
Ka'ab berkata, "Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang ketika itu wajah beliau berseri-seri, beliau mengatakan, "Bergembiralah, karena kamu mendapati sebaik-baik hari yang telah kamu lalui semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu." Lalu aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah pengampunan untukku ini darimu ataukah dari Allah?" Beliau menjawab, "Dari Allah." Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau merasa senang, maka wajah beliau bersinar bagai bulan purnama, kami pun sudah memahami hal itu.
Ketika duduk di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, aku berkata, "Wahai Rasulullah, di antara bentuk taubatku adalah aku serahkan hartaku sebagai sedekah untuk Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, "Sisakan sebagian hartamu, yang demikian itu lebih baik bagimu." Lalu aku katakan, "Aku sisakan hartaku yang menjadi bagianku pada perang Khaibar. Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku hanyalah karena kejujuranku, dan di antara bentuk taubatku adalah aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur pada sisa umurku."
Ka'ab mengatkaan, "Demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa seorang muslim diuji oleh Allah karena kejujuran bicaranya sejak aku tuturkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai sekarang ini, yang lebih baik daripada apa yang telah diujikan oleh Allah Azza wa Jalla kepadaku. Demi Allah, aku tidak lagi ingin berbohong semenjak aku katakan itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai sekarang ini, dan aku berharap semoga Allah menjagaku dari kedustaan dalam sisa umurku.
Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, "Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar." (QS. At-Taubah: 117-119).
Ka'ab mengatakan, "Demi Allah, tidak ada nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadaku setelah Allah menunjukkanku kepada Islam yang aku anggap lebih besar daripada kejujuranku kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Seandainya aku berdusta, maka aku akan celaka sebagaimana orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyebutkan kejelekan orang-orang yang berdusta ketika Allah menurunkan ayat, "Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik." (At-Taubah: 95-96).
Ka'ab berkata kepada kedua orang temannya, "Kita bertiga adalah orang-orang yang tertinggal dari kelompok yang telah diterima oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika mereka bersumpah, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membai'at mereka dan memohonkan ampunan untuk mereka, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menangguhkan persoalan kita sampai ada keputusan dari Allah Azza wa Jalla tentang persoalan kita; maka dalam hal tersebut Allah Ta'ala berfirman, "Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas." (At-Taubah: 118). Apa yang difirmankan Allah dalam ayat itu bukanlah tentang sikap kita yang tidak ikut serta dalam perang, melainkan tentang tertinggalnya kita untuk menyampaikan alasan kita dari kelompok orang-orang yang bersumpah dan memberikan alasan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau pun menerima alasan mereka."
HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa'i.
Sikap masyarakat Islam terhadap Kaab Bin Malik & 2 Orang Lainya
Kisah Kaab Bin Malik & Orang Yang Tidak Ikut Berperang
Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke perang Tabuk untuk menghadapi orang-orang Romawi dan orang-orang Nashrani Arab di Syam."
Ibnu Syihab melanjutkan, Abdurrahman bin Abdullah bin Ka'ab bin Malik mengabarkan kepadaku, bahwa Abdullah bin Ka'ab adalah salah satu putra Ka'ab yang menuntunnya ketika ia mengalami kebutaan di masa tua, ia mengatakan, "Aku pernah mendengar Ka'ab bin Malik Radhiyallahu Anhu memberitahukan hadits yang diriwayatkan ketika ia tidak ikut serta bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang tabuk." Ka'ab bin Malik bercerita, "Aku tidak pernah sama sekali tertinggal untuk menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang yang beliau pimpin kecuali perang Tabuk. Namun aku juga pernah tidak ikut serta dalam perang Badar, akan tetapi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mencela seorang muslim yang tidak turut dalam perang Badar. Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin (dalam perang Badar) tujuan awalnya hanyalah ingin menyerang rombongan kafilah dagang beberapa orang dari Quraisy, sehingga Allah mempertemukan kaum muslimin dengan musuh mereka tanpa waktu ya ngtelah disepakati sebelumnya. Saat itu aku turut bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada malam perjanjian Aqabah ketika kami berjanji membela Islam. Bagiku, turut serta dalam perang Badar tidak sebanding dengan turut dalam malam perjanjian Aqabah, meskipun perang Badar lebih populer bagi kebanyakan orang. Di antara kisah ketika aku tidak turut bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang Tabuk adalah sebagai berikut,
"Aku benar-benar tidak berdaya dan tidak ada orang yang lebih banyak mempunyai keluasan daripada aku ketika tidak turut dalam perang Tabuk tersebut. Demi Allah, sebelumnya aku tidak pernah sama sekali menyiapkan dua ekor hewan tunggangan di pelbagai peperangan, namun pada perang Tabuk tersebut aku menyiapkan dua ekor hewan tunggangan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke lokasi perang Tabuk pada cuaca yang sangat panas, beliau menempuh perjalanan yang sangat jauh dan penuh resiko serta menghadapi musuh dalam jumlah besar. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan kepada kaum muslimin apa yang akan mereka hadapi bersama beliau. Oleh karena itu, beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh mereka untuk mempersiapkan perbekalan perang yang cukup. Pada saat itu, kaum muslimin yang menyertai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam banyak sekali tanpa ditunjuk melalui surat tugas untuk berperang."
Ka'ab melanjutkan, "Ada seorang laki-laki yang tidak muncul karena tidak ingin turut berperang. Dia mendunga bahwa tindakannya yang tidak ikut serta tersebut tidak akan diketahui oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah Azza wa Jalla mengenai dirinya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat ke perang Tabuk ketika hasil panen buah sangat memuaskan, sehingga aku memalingkan perhatian kepada hasil panen. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum muslimin yang menyertai beliau sudah bersiap-siap, dan aku pun segera pergi mencari perbekalan bersama mereka, namun aku pulang tanpa memperoleh perbekalan sama sekali. Aku berkata dalam hati, "Aku sebenarnya bisa memperoleh perbekalan jika aku mau, aku selalu dalam teka-teki antara ya dan tidak sedangkan yang lainnya semakin siap."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat bersama pasukan kaum muslimin, sementara aku belum mempersiapkan perbekalan sama sekali, lalu aku pergi kemudian pulang tanpa mempersiapkan sesuatu. Aku senantiasa dalam kebimbangan seperti itu antara turut berperang atau tidak, sehingga pasukan kaum muslimin sudah bergegas dan perang pun telah berkecamuk. Lalu aku ingin menyusul mereka ke medan perang -duhai kiranya aku benar-benar melakukannya- dan akhirnya aku ditakdirkan untuk tidak ikut serta dalam medan tempur. Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pergi ke perang Tabuk, maka mulailah rasa sedih menyelimuti diriku. Pada saat keluar ke tengah-tengah masyarakat sekitar, aku menyadari bahwa tidak ada yang dapat aku temui selain orang-orang dicap bergelimang dalam kemunafikan atau aku termasuk orang yang lemah yang diberi udzur oleh Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengingat diriku hingga beliau sampai di Tabuk. Ketika beliau sedang duduk di tengah para shahabat di Tabuk, beliau bertanya, "Mengapa Ka'ab bin Malik tidak turut berperang?" Seorang laki-laki dari Bani Salimah menjawab, "Wahai Rasulullah, Ka'ab bin Malik disibukkan oleh pakaiannya dan lebih mementingkan urusan pribadinya dari pada perjuangan ini." Mendengar ucapan shahabat itu Mu'adz bin Jabal berkata, "Ucapanmu ini sungguh jelek wahai shahabat, demi Allah, wahai Rasulullah, kami tahu bahwa Ka'ab bin Malik adalah orang yang baik." Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diam. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terdiam seperti itu tiba-tiba beliau melihat seorang laki-laki yang memakai pakaian putih dan hitam yang bergerak-gerak, kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Kamu pasti Abu Khaitsamah." Ternyata dia memang Abu Khaitsamah Al-Anshari, seorang shahabat yang pernah menyedekahkan satu sha' kurma ketika ia dicaci maki oleh orang-orang munafik.
Ka'ab bin Malik melanjutkan ceritanya, "Ketika aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersiap-siap kembali dari Tabuk, aku diliputi kesedihan, lalu aku mulai menggagas alasan untuk berdusta, aku berkata dalam hatiku, "Alasan apa yang besok bisa menyelamatkanku dari amarah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?" Untuk menghadapi itu aku berniat untuk meminta bantuan kepada keluargaku yang bisa memberi jalan keluar. Ketika ada seseorang memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah hampir tiba di kota Madinah, maka semua keinginan untuk berdusta telah hilang dari benakku. Akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah dapat berbohong sedikitpun kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, oleh karena itu aku harus berkata jujur kepada beliau.
Akhirnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai di Madinah pada pagi hari. Seperti biasa, beliau langsung menuju masjid sebagaimana kebiasaan beliau setiap kali tiba dari bepergian ke suatu daerah. Lalu beliau melaksanakan shalat sunnah dua raka'at, setelah itu beliau duduk bercengkerama bersama para shahabat. Beberapa saat kemudian, beliau didatangi oleh orang-orang yang tidak turut berperang. Mereka segera menyampaikan alasan kepada beliau dengan bersumpah. Diperkirakan mereka yang tidak ikut bertempur itu berjumlah 80 orang lebih. Ternyata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima alasan mereka yang tidak ikut berperang, membai'at mereka, memohonkan ampunan untuk mereka dan menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka kepada Allah Ta'ala. Tak setelah itu, aku pun datang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Setelah mengucapkan salam, beliau tersenyum seperti senyuman orang yang marah, kemudian beliau mengatakan, "Kemarilah!" Lalu aku berjalan mendekat, sehingga aku duduk tepat di hadapan beliau. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya, "Mengapa kamu tidak turut berperang? Tidakkah kamu telah berjanji untuk menyerahkan jiwa ragamu demi Islam?" Aku menjawab, "Ya Rasulullah, demi Allah, seandainya aku duduk di sisi orang selain engkau, aku yakin bahwa aku terbebaskan dari kemurkaannya dengan alasan dan argumentasi yang aku sampaikan. Tetapi, demi Allah, aku tahu bahwa jika sekarang ini aku menyampaikan kepadamu alasan yang dusta agar membuatmu tidak memarahiku, tentu dengan cepat Allah yang membuatmu marah kepadaku. Jika aku berkata benar dan jujur kepadamu yang dengan kejujuran itu engkau akan memarahiku, maka aku pun menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberiku hukuman dengan ucapanku yang jujur itu. Demi Allah, sungguh tidak ada udzur yang membuatku tidak turut berperang. Demi Allah, aku tidak pernah berdaya sama sekali ketika itu meskipun punya waktu yang sangat longgar sekali, namun aku tidak turut berperang bersamamu." Mendengar pengakuan tulsu itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Orang ini telah berkata jujur, berdirilah sampai Allah memberikan keputusan tentangmu." Akhirnya aku pun berdiri dan beranjak dari sisi beliau. Lalu beberapa orang Bani Salimah beramai-ramai mengikutiku. Mereka berkata kepadaku, "Demi Allah, kami tidak pernah mengetahui kamu berbuat dosa sebelum ini, Kamu benar-benar tidak mampu engkau mengemukakan alasan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana alasan yang disampaikan oleh orang-orang yang tidak turut berperang itu, sungguh istighfar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untukmu yang akan menghapus dosamu."
Ka'ab bin Malik berkata, "Demi Allah, mereka tidak berhenti mencercaku sampai-sampai aku ingin kembali lagi kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu aku dustakan diriku." Selanjutnya aku bertanya kepada mereka, "Apakah ada orang lain yang menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti aku?" Mereka menjawab, "Ya, ada dua orang lain seperti dirimu. Kedua orang itu mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti apa yang kamu katakan, dan dijawab oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti apa yang jawaban beliau kepadamu." Aku bertanya, "Siapa dua orang itu?" Mereka menjawab, "Murarah bin Rabi'ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifi. " Mereka menyebutkan dua orang shalih yang pernah ikut serta dalam perang Badar, dan mereka bisa menjadi teladan. Aku pun berlalu ketika mereka menyebutkan dua orang tersebut kepadaku.
Tak dinayana, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga yang tidak turut dalam perang Tabuk. Kaum muslimin manjauhi kami dan berubah sikap kepada kami bertiga sehingga bumi ini terasa asing bagi kami. Sepertinya bumi ini bukan bumi yang kami kenal sebelumnya, itu berlangsung selama 50 malam. Dua orang temanku yang tidak turut dalam perang Tabuk itu duduk bersedih di rumah mereka sambil terus menangis, sedangkan aku masih muda tetap tegar. Aku tetap beraktifitas seperti sedia kala, aku tetap berani keluar dari rumah, menghadiri shalat berjama'ah dan berjalan-jalan di pasar meskipun tak seorang pun yang mau berbicara denganku. Hingga suatu ketika aku menghampiri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu aku ucapkan salam kepada beliau ketika beliau berada di tempat duduknya seusai shalat. Aku bertanya-tanya dalam hati, "Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak?" Kemudian aku shalat di dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan mencuri pandang kepada beliau. Ketika aku sudah bersiap hendak shalat, beliau memandangku dan ketika aku menoleh kepada beliau, beliau mengalihkan pandangannya dariku.
Setelah terisolir dari pergaulan kaum muslimin, aku berjalan-jalan sehingga sampai di pagar kebun Abu Qatadah, dia adalah sepupuku dan dia merupakan orang yang paling aku senangi. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi demi Allah, dia tidak menjawab salamku. Lalu aku tanyakan kepadanya, "Hai Abu Qatadah, aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu mengetahui bahwa aku sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya?" Ternyata Abu Qatadah diam saja. Lalu aku ulangi lagi dengan bersumpah seperti itu, tetapi dia tetap diam. Kemudian aku ulangi sekali lagi, lalu dia menjawab, "Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui hal itu." Mendengar ucapannya itu, berlinanglah air mataku dan aku pun kembali ke rumah sambil menyusuri pagar kebun tersebut.
Pada hari lain, ketika aku berjalan di pasar Madinah, ada seorang dari negeri Syam yang berjualan makanan di kota Madinah bertanya, "Siapakah yang sudi menunjukkan di mana Ka'ab bin Malik?' Maka orang-orang pun menunjukkannya kepadaku. Lalu dia datang kepadaku sambil menyerahkan sepucuk surat untukku dari raja Ghassan. Karena saya bisa menulis dan membaca, maka aku bisa memahami surat itu, ternyata isinya sebagai berikut,
"Kami mendengar bahwa temanmu (yakni Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam) mengucilkanmu dari pergaulan umum, sedangkan Allah tidak menyia-nyiakanmu, karena itu bergabunglah dengan kami, kami akan menolongmu."
Selesai membaca surat itu aku pun berkata, "Surat ini juga merupakan bencana bagiku." Lalu aku memasukkannya ke pembakaran dan membakarnya hingga musnah." Setelah berlalu 40 hari dari 50 hari masa pengucilanku dan wahyu pun tidak turun, tiba-tiba utusan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendatangiku untuk menyampaikan pesan, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar kamu menjauhi istrimu." Aku bertanya, "Aku harus menceraikannya atau bagaimana?" Dia menjawab, "Tidak, tapi jauhi dia dan janganlah kamu mendekatinya." Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengutus orang kepada dua orang temanku yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk dengan pesan seperti yang disampaikan kepadaku. Aku katakan kepada isteriku, "Pulanglah ke keluargamu dan tinggallah bersama mereka sampai Allah memberi keputusan dalam masalah ini."
Setelah itu, istri Hilal bin Umayyah mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu dia berkata, "Wahai Rasulullah, Hilal bin Umayyah sudah tua, lemah dan tidak memiliki pembantu, apa engkau juga tidak suka kalau aku yang merawatnya?" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, "Tidak, dengan syarat jangan sampai dia mendekatimu." Perempuan itu berkata lagi, "Demi Allah, dia sudah tidak berhasrat sama sekali, dan demi Allah dia tidak putus menangis semenjak dia mendapatkan ujian tersebut sampai hari ini."
Ka'ab bin Malik berkata, "Salah seorang keluargaku memberi saran, "Sebaiknya kamu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam persoalan istrimu; sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberi izin kepada istri Hilal bin Umayyah untuk merawat suaminya." Aku berkata, "Aku tidak akan meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam perihal istriku, aku tidak tahu bagaimana jawaban Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jika aku minta izin kepada beliau tentang istriku; karena aku masih muda." Hal itu berlangsung sepuluh malam, sehingga genaplah 50 malam bagi kami, terhitung sejak kaum muslimin dilarang berbicara dengan kami. Kemudian aku melakukan shalat subuh pada pagi hari setelah melewati malam yang ke-50 di bagian belakang rumahku. Ketika aku sedang duduk dalam keadaan seperti yang Allah sebutkan tentang kami, yaitu diriku diliputi kesedihan yang sangat serta bumi yang luas ini terasa sempit bagiku. Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak dengan suara keras yang menembus cakrawala, "Wahai Ka'ab bin Malik, bergembiralah!" Lalu aku sujud dan aku tahu bahwa aku telah bebas dari persoalan ini.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumumkan kepada kaum muslimin seusai shalat shubuh, bahwa Allah telah menerima taubat kami. Orang-orang pun segera memberitahu kami dan mendatangi dua orang temanku untuk memberitahu mereka berdua. Orang-orang dari Bani Aslam datang kepadaku dengan berkuda dan berjalan kaki menyusuri gunung, dan suara mereka lebih cepat daripada suara kuda mereka. Ketika orang yang telah aku dengar suaranya memberi kabar gembira datang, maka aku melepaskan pakaian luarku, lalu aku pakaikan kepadanya sebagai balasan kabar gembiranya kepadaku. Demi Allah, pada saat itu yang aku milikinya hanyalah dua pakaian tersebut. Kemudian aku meminjam dua pakaian, lalu aku pakai. Setelah itu aku menghadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sementara orang-orang berduyun-duyun menemuiku untuk mengucapkan selamat atas terkabulnya taubatku. Lalu aku masuk ke mesjid. Ketika itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam duduk di tengah orang banyak. Thalhah bin Ubaidullah berdiri dan berjalan cepat mendekatiku, lalu menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada orang-orang muhajirin yang berdiri selain Thalhah.
Periwayat hadits mengatakan "Ka'ab tidak pernah melupakan penyambutan Thalhah tersebut."
Ka'ab berkata, "Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang ketika itu wajah beliau berseri-seri, beliau mengatakan, "Bergembiralah, karena kamu mendapati sebaik-baik hari yang telah kamu lalui semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu." Lalu aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah pengampunan untukku ini darimu ataukah dari Allah?" Beliau menjawab, "Dari Allah." Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika beliau merasa senang, maka wajah beliau bersinar bagai bulan purnama, kami pun sudah memahami hal itu.
Ketika duduk di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, aku berkata, "Wahai Rasulullah, di antara bentuk taubatku adalah aku serahkan hartaku sebagai sedekah untuk Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, "Sisakan sebagian hartamu, yang demikian itu lebih baik bagimu." Lalu aku katakan, "Aku sisakan hartaku yang menjadi bagianku pada perang Khaibar. Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku hanyalah karena kejujuranku, dan di antara bentuk taubatku adalah aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur pada sisa umurku."
Ka'ab mengatkaan, "Demi Allah, aku tidak mengetahui bahwa seorang muslim diuji oleh Allah karena kejujuran bicaranya sejak aku tuturkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai sekarang ini, yang lebih baik daripada apa yang telah diujikan oleh Allah Azza wa Jalla kepadaku. Demi Allah, aku tidak lagi ingin berbohong semenjak aku katakan itu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sampai sekarang ini, dan aku berharap semoga Allah menjagaku dari kedustaan dalam sisa umurku.
Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, "Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar." (QS. At-Taubah: 117-119).
Ka'ab mengatakan, "Demi Allah, tidak ada nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadaku setelah Allah menunjukkanku kepada Islam yang aku anggap lebih besar daripada kejujuranku kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Seandainya aku berdusta, maka aku akan celaka sebagaimana orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyebutkan kejelekan orang-orang yang berdusta ketika Allah menurunkan ayat, "Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik." (At-Taubah: 95-96).
Ka'ab berkata kepada kedua orang temannya, "Kita bertiga adalah orang-orang yang tertinggal dari kelompok yang telah diterima oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika mereka bersumpah, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membai'at mereka dan memohonkan ampunan untuk mereka, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menangguhkan persoalan kita sampai ada keputusan dari Allah Azza wa Jalla tentang persoalan kita; maka dalam hal tersebut Allah Ta'ala berfirman, "Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas." (At-Taubah: 118). Apa yang difirmankan Allah dalam ayat itu bukanlah tentang sikap kita yang tidak ikut serta dalam perang, melainkan tentang tertinggalnya kita untuk menyampaikan alasan kita dari kelompok orang-orang yang bersumpah dan memberikan alasan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau pun menerima alasan mereka."
HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa'i.
Sikap masyarakat Islam terhadap Kaab Bin Malik & 2 Orang Lainya
Mereka adalah: 1.Ka'ab bin Malik, 2.Mirarah Ibnul Rabi',
3.Hilal bin Umaiyah.
Sekalipun tiga orang sahabat Nabi saw. itu hanya
sepersepuluh ribu dibandingkan dengan keseluruhan balatentara Islam, tetapi
tindakan mereka itu di tengah masyarakat Islam sangat besar pengaruhnya terhadap
langkah-langkah yang telah direncanakan oleh gerakan, bahkan bisa jadi akan
berekor panjang.
Ketiga orang itu tidak ikut berangkat perang tanpa uzur,
tetapi mereka menjawab jujur ketika ditanya Rasulullah saw. mengenai alasannya.
Karena itu, beliau berkata kepada mereka masing-masing, "Adapun orang ini
benar-benar jujur. Karenanya, tunggulah kamu sampai Allah memberi keputusan
mengenai dirimu."
Adapun pengarahan Rabbani dalam kaitannya dengan ketiga
orang itu ialah, pertama-tama agar kaum muslimin memutuskan hubungan dengan
mereka. Kaum muslimin dilarang berbicara dengan mereka, dan istri-istri mereka
dilarang berhubungan dengan suami-suami mereka. Sampai-sampai ketika ketiga
orang itu mengucapkan salam pun tidak dibalas
salamnya.
Karena demikian kritisnya masalah ini, terdengarlah
pengucilan ini oleh musuh-musuh Islam di Syam, lalu mereka mengirim seseorang
untuk menghubungi Ka'ab bin Malik.
Ka'ab menuturkan kejadian itu, "tiba-tiba ada seseorang
yang tampaknya seperti rakyat biasa di antara mereka yang datang dari Syam
membawa bahan makanan untuk dijual di Madinah. Orang itu menanyakan tentang
diriku, 'Siapakah yang bisa menunjukkan untukku Ka'ab bin
Malik?'
Orang-orang pun menunjuk kepadaku. Akhirnya, ketika orang itu tiba di
hadapanku, dia menyodorkan sepucuk surat kepadaku dari raja Ghassan. Rupanya
raja itu telah menulis sepucuk surat pada secarik kertas dari sutera dan
ternyata isinya, 'Amma ba'du. Sesungguhnya, kami telah dengar berita bahwa temanmu tidak bersikap
ramah lagi terhadapmu. Akan tetapi, Allah tidaklah menjadikan kamu di negeri
kehinaan dan kenistaan. Karena itu, temuilah kami niscaya kami membantumu.'Saya
berkata ketika membaca surat itu, 'Ini pun termasuk cobaan juga.' Sungguh, sudah
sedemikian parahkah apa yang aku alami ini, sampai-sampai ada seorang penganut
kemusyrikan menghendaki diriku? Surat itu lalu kubawa ke tungku api, lalu
kumasukkan ke dalamnya, kubakar."
Akhirnya, perlu pula kita ketahui, bahwa masyarakat
Islam tersebut telah ikut pula merasakan kesedihan, yang dialami ketiga saudara
mereka dengan penuh kesadaran, disiplin, dan penderitaan.Dengan demikian, nyatalah bahwa masyarakat Islam itu
benar-benar bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggotanya yang
menderita sakit, seluruh anggota tubuh lainnya akan merasakan pula demam dan tak
bisa tidur.
Ada satu hal lagi yang paling mengagumkan dalam kasus
ini, yaitu betapa sempurnanya disiplin kaum muslimin waktu itu, yang disertai
dengan rasa belas kasih dan cinta yang sempurna pula di antara sesama mereka,
serta rasa senasib sepenanggungan dalam mengayuh cita-cita bersama.
0 komentar:
Post a Comment