http://picasion.com/

Terompet Dari Sampul Al-Quran dalam Tinjauan Fiqih

Beberapa waktu yang lalu kita dikagetkan dengan terompet yang terbuat dari bahan dasar sampul Al-Qur’an. Foto-foto dan BC terkait hal tersebut ramai lalu lalang di media sosial. Tidak ketinggalan, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin angkat bicara. Dia menegaskan bahwa urusan ini harus dipidanakan.

Setelah  dilakukan penyelidikan, diketahui pembuatan terompet berbahan sampul Al-Qur’an diproduksi di Solo dan didistribusikan hingga Pekalongan, Kendal dan kota-kota lainnya di Jawa tengah. Baru-baru ini, terompet tersebut juga ditemukan di Bogor, Jawa Barat. Tak lama berselang, foto bekas plat cetak Al-Qur’an juga ditemukan sebagai alat membuat kue.


Cara “Membuang” Limbah Al-Qur’an
Ada dua pendapat ulama terkait hal ini. Pendapat pertama adalah dikubur di tanah. Ini adalah pendapat ulama Hanabilah dan Hanafiyah. Alauddin Al-Haskafi dari mazhab Hanafi pengarang Kitab Raddul Mukhtar berkata, “Mushaf, apabila sudah tidak bisa dibaca maka dikubur seperti halnya seorang Muslim (yang sudah meninggal).” (Raddul Mukhtar 1/191). Ibnu Abidin yang menulis Hasyiyah dari kitab tersebut mengomentari perkataan di atas,“(Cara menguburnya) yaitu dengan ditaruh di kain yang suci, kemudian dikubur di tanah yang tidak terhina atau tidak diinjak.”
Sementara dari mazhab Hanabilah, Al-Buhuti pengarang kitabKasysyaful Qina’ berkata, “Apabila mushaf sudah rusak atau hilang (huruf-hurufnya) maka dikubur. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad menyebutkan bahwa Abul Jauza’ rusak mushafnya, kemudian dia menggali lubang di masjidnya dan menguburkan mushafnya di sana.” (Kasysyaful Qina’ 1/137)
Pendapat kedua dalam masalah ini adalah pendapat ulama Syafiiyyah dan Malikiyah. Mereka berpendapat bahwa mushaf yang tidak terpakai dibakar. Pendapat ini disandarkan kepada apa yang dilakukan Utsman saat beliau membukukan Al-Qur’an. Kisah pembukuan Al-Qur’an oleh Utsman bisa dilihat di Shahih Bukhari hadits nomor 4988. Di sana disebutkan bahwa Utsman setelah selesai membukukan Al-Qur’an beliau memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf selain yang sudah dibukukan dan disepakati.
Imam As-Suyuti di dalam kitab Al-Itqon Fi Ulumil Quran berkata,“Apabila dibutuhkan untuk menghilangkan beberapa lembar dari mushaf karena sudah rusak, maka tidak boleh meletakkannya di sela-sela (dinding) karena bisa saja jatuh dan diinjak dan juga tidak boleh disobek karena dapat memotong huruf dan memisahkan kalimat (yang ada di dalam Al-Quran). Karena yang demikian itu termasuk merendahkan apa yang tertulis (Al-Qur’an). Adapun jika dibakar, maka tidak apa-apa. Hal ini dikarenakan Utsman membakar mushaf-mushaf yang di dalamnya terdapat ayat-ayat dan qira’at yang ditulis. Dan saat itu tidak ada seorangpun yang mengingkari perbuatan Utsman.” (Al-Itqon Fi Ulumil Quran 2/1187).
Berdasarkan dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa “limbah” sisa dari Al-Qur’an yang masih tertulis di dalamnya ayat-ayat Al-Qur’an tidak bisa diperlakukan seenaknya. Ada tuntunan yang diajarkan oleh para ulama kita. Hal ini karena Al-Qur’an adalah sesuatu yang agung dan mulia. Hal ini seharusnya dapat menjadi perhatian bagi para pemiliki usaha percetakan yang mereka mencetak Al-Qur’an.
“Itu Kan Hanya Kertas, Kenapa Diributkan?”
Al-Qur’an adalah Kalamullah, baik itu yang dihafal di dada para penghafal Al-Qur’an, yang dibaca oleh lisan dan yang tertulis di dalam mushaf. Semuanya adalah Al-Qur’an. Jadi, perkataan bahwa itu hanyalah kertas adalah perkataan yang bathil. Bahkan, perkataan ini bisa membuka pintu untuk melecehkan dan menghinakan lembaran-lembaran kertas yang di atasnya tertulis ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalil bahwa yang tertulis di dalam mushaf itu adalah Al-Qur’an adalah riwayat yang disebutkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Umar. Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang safar membawa Al-Qur’an ke negeri musuh. Kira-kira, Al-Qur’an manakah yang dilarang oleh Nabi untuk dibawa ke negeri musuh? Al-Qur’an yang di Lauhul Mahfudz? Tentu tidak. Jelas yang dimaksud dengan Al-Qur’an dalam hadits di atas adalah Al-Qur’an yang tertulis di dalam mushaf.
Sementara apa yang dibaca oleh seorang dari hafalannya itu juga Al-Qur’an. Dalil akan hal itu adalah firman Allah SWT:
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
“Dan jika salah seorang dari orang musyrik meminta perlindungan kepadamu maka berilah dia perlindungan sampai dia mendengar kalamullah.” (At-Taubah : 6)
Di dalam ayat di atas jelas dikatakan bahwa yang didengar adalah Kalamullah. Dari mana dia mendengar? Tentunya dari bacaan orang yang membaca. Baik yang membaca Al-Qur’an dari hafalannya, ataupun membaca dari mushaf.
Sementara di dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :“Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad Darimi, dishahihkan oleh Albani). Di dalam hadits di atas jelas, bahwa bacaan yang keluar dari mulut seseorang dinamakan Al-Qur’an. Maka, ketika seseorang mengatakan “toh itu hanya kertas”, dia juga berpotensi mengatakan “toh itu hanya suara” karena apa yang keluar dari bacaan Al-Qur’an hanyalah suara? Jika, ada orang yang berpendapat seperti ini, maka hadits inilah jawabannya. Di dalam hadits ini jelas Rasul menyebutkan bahwa yang dibaca itu adalah Al-Qur’an.
Dari uraian di atas, sisa-sisa dari Al-Qur’an tidak selayaknya diterlantarkan begitu saja, atau digunakan untuk keperluan lain seperti dibuat terompet. Ini jelas merupakan perbuatan yang tidak menghormati Al-Qur’an sebagai Kalamullah. Apapun bentuknya, baik berupa plat, lembaran yang salah cetak atau apapun itu namanya, Al-Qur’an tetap harus dihormati dan diagungkan. Apabila memang sudah tidak terpakai, maka ulama memberi solusi dengan menguburnya di tempat yang baik atau membakarnya sebagaimana yang dicontohkan Utsman bin Affan. Wallahu a’lam bissowab.
 sumber : Kiblat net
 http://dngumpul.blogspot.co.id/2015/04/madu-mujahid-kalimantan-rp40000.html
SHARE

About muwahid

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment

Translate